Nasional

Muktamar NU Minta Pemerintah Terbitkan Regulasi Pembatasan Kepemilikan Tanah

Jumat, 24 Desember 2021 | 16:00 WIB

Muktamar NU Minta Pemerintah Terbitkan Regulasi Pembatasan Kepemilikan Tanah

Ketua Komisi Rekomendasi Alissa Wahid mendorong pemerintah untuk menerbitkan regulasi yang membatasi kepemilikan tanah. 

Bandarlampung, NU Online

Daulat rakyat atas tanah merupakan salah satu tema bahasan Sidang Komisi Rekomendasi Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU). Soal pertanahan ini, menjadi sorotan utama karena telah terdapat ketimpangan atas kepemilikan tanah. 


Pada konteks itu, Muktamar NU kemudian mengeluarkan rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah. Ketua Komisi Rekomendasi Alissa Wahid mendorong pemerintah untuk menerbitkan regulasi yang membatasi kepemilikan tanah. 


Kemudian, negara atau pemerintah juga perlu memperkuat perlindungan terhadap kepemilikan dan daulat rakyat atas tanahnya. Sebab titik tekan kebijakan pembangunan yang lebih menitikberatkan pada industri menjadikan rakyat sebagai kelompok lemah dan rentan ditindas atas nama pembangunan. 


“Negara perlu memberikan afirmasi dan fasilitasi yang diperlukan untuk melindungi kepentingan rakyat,” ujar Alissa saat membacakan draf putusan rekomendasi dalam Sidang Pleno III, di Gedung Serbaguna (GSG) Universitas Lampung, pada Kamis (23/12/2021).


Muktamar NU juga menyoroti soal status tanah ulayat yang dimiliki kelompok-kelompok budaya secara kolektif. Dalam hal ini, negara didorong agar memberikan perlindungan atas tanah ulayat dari penggusuran dan alih kepemilikan kepada investor. 


“Perlu ditemukan suatu sistem manajemen atau kearifan lokal di mana penanaman modal, baik dari dalam maupun luar negeri, tidak mengubah kepemilikan tanah bagi rakyat dan dalam waktu yang sama menguntungkan kedua belah pihak,” tegas Alissa.


Ia lalu meminta agar pemerintah harus menyusun regulasi yang memberikan pola kerja sama dalam rangka investasi dengan kepemilikan tanah tetap ada di tangan rakyat. Sebab negara memang mesti hadir di dalam setiap sengketa pertanahan untuk menegakkan prinsip perlindungan warga. Begitu pula soal pengelolaan sumber daya secara adil dan menjaga hak masing-masing pihak, sesuai dengan prinsip persamaan di muka hukum.


Dalam Islam, lanjut Alissa, perampasan tanah merupakan tindakan berdosa baik yang dilakukan dengan perampasan hak milik perseorangan maupun hak pengelolaan atas tanah tertentu. Karena itu, Muktamar NU merekomendasikan agar penegakan hukum atas sengketa pertanahan harus ditujukan untuk mencegah terjadinya perampasan. 


“Terutama dalam hal perampasan dilakukan oleh kelompok yang lebih berkuasa terhadap kelompok rakyat lemah,” kata Alissa. 

 


Dalam Jurnal berjudul Enam Dekade Ketimpangan Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia (2011) yang diterbitkan KPA Agrarian Resource Center Bina Desa Konsorsium Pembaruan Agraria disebutkan bahwa luas daratan di Indonesia sekitar 190 juta hektar.


Dari total luasan itu, 62 persen di antaranya telah dialokasikan dan/atau dikuasai oleh korporasi, sedangkan Gini Rasio Penguasaan Tanah oleh kaum tani hanya 0,72 persen. Dengan kata lain, telah terjadi ketimpangan penguasaan tanah yang sangat lebar, serius, dan akan terus bertambah.


“Peningkatan investasi internasional yang mengikutkan pelepasan tanah atau persewaan tanah rakyat dalam jangka panjang (dan bisa diperpanjang lagi) dan tereduksinya tenaga kerja domestik semakin memperberat problema kemiskinan,” kata Alissa.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan