Nasional

Musik sebagai Wasilah Taqarub kepada Allah

Ahad, 11 Maret 2018 | 07:01 WIB

Musik sebagai Wasilah Taqarub kepada Allah

(Foto: pinterest)

Jakarta, NU Online
Ritme, irama, nada, dan kedalaman makna kata pada setiap syairnya menjadi bahan yang berpadu dalam musik. Masing-masing punya porsinya. Layaknya makanan, ia punya ciri khas dan rasa masing-masing. Begitulah Sastro Adi Wiyono mendeskripsikan musik.

Wakil Sekretaris Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu menjelaskan kebolehan musik. Sebagaimana alat lainnya, menurutnya, musik tidaklah haram.

Nabi Muhammad SAW pernah membiarkan hal itu. Saat ia hijrah ke Madinah, para sahabat Ansor menyambutnya dengan tabuh-tabuhan sembari mendendangkan syair thala’al badru ‘alaina min tsaniyatil wada’ dan seterusnya.

“Ini Nabi membiarkan. Artinya boleh,” ujarnya.

Ahli fiqih mengharamkan musik karena khawatir dapat melalaikan diri dari Allah SWT. Oleh karenanya, mereka menyebut musik sebagai alatul malahi wal ma’ashi, alat yang menyebabkan lupa dan maksiat. Pria asal Banyuwangi itu bertanya, “Bagaimana jika malah menjadi taqarrub kita kepada Allah?”

Musik merupakan bunyi-bunyian yang akan menimbulkan resonansi. Dalam ilmu fisika, menurut KBBI, resonansi merupakan peristiwa bergetarnya suatu benda karena pengaruh getaran gelombang elektromagnetik luar.

Ketika semua saling beresonansi maka semua saling bergetar. Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Pencak Silat Pagarnusa itu mengatakan hal tersebut dapat mereformasi bentuk yang paling sempurna. “Itu dapat menggerakkan seluruh jasad kita dengan jiwa sebagai penggeraknya,” ungkapnya.

Jika musik itu memiliki maksud tertentu, misalnya menghibur, menenangkan, atau membuat dapat lebih konsentrasi. “Maka musik ini menjadi wasilah,” katanya.

Masyarakat Nusantara masuk Islam dengan musik karena syair yang diciptakan sangat sederhana. Sastro menyebut salah satu karya Sunan Kalijaga, Kidung Rumekso ing Wengi. Syair tersebut menggambarkan orang yang tetap terjaga di malam harinya. Ia berdoa untuk keselamatan semuanya. Kesederhanaan syair itu, menurutnya, justru lebih menunjukkan kedalaman ilmu para wali.

“Bisa saja beliau mengatakannya dengan tegas. Tetapi untuk lebih meresap ke hati, beliau menggubahnya dengan seni. Merayunya dengan pujian dan majas serta dilengkapi dengan ritme musik yang mengiringinya,” kata mantan pianis salah satu grup band terkenal di Indonesia itu.

Cocokologi ‘Nang Ning Nung’ dan Musiq
Musik yang mengiringi syair-syair tersebut di antaranya adalah gamelan yang berbunyi nang ning nung. Sastro mencoba memahami maksud lebih dalam dari sekadar bunyi tersebut.

Pikirannya mundur jauh ke lima belas abad silam. Ia teringat Kanjeng Nabi khalwat di Gua Hira. Dalam benaknya, timbul pertanyaan, “Kenapa Nabi mesti jauh-jauh ke sana? Kenapa tidak ke Ka’bah saja? Atau di salah satu sudut kamarnya?”

Rupanya, ia memahami jika di gua tersebut untuk mencari ketenangan yang akan melahirkan keheningan. Hal itu dapat menghaluskan jiwa. “Nang itu tenang, ning itu hening, nung itu dunung.” Ketika hati tenang dan hening akan lebih mudah meresapi semua hikmah di balik kejadian-kejadian.

Baginya, musik memiliki akronim tersendiri di benaknya. Dalam bahasa Arab, musik terdiri dari empat huruf, yakni mim, sin, ya, dan qaf. Mim sebagai manfaat. Manfaat nyata baginya dapat mengirim sinyal-sinyal yang dapat mengantarkan pesan. Sin sebagai sirr, menggembirakan. Ya, sebagai yaqin, dan qaf sebagai quwwatan.

“Ketika seseorang melakukan musiknya, geraknya, keyakinannya, maka pasti akan muncul kekuatan,” pungkasnya. (Syakirnf/Alhafiz K)


Terkait