Jakarta, NU Online
Secara pelan tapi pasti, pesantren melalui NU akan membuktikan bahwa kebudayaan dan kesenian adalah sesuatu yang integral di NU. Pesantren adalah kebertubuhan Islam dengan kenusantaraan.
Hal itu diungkapkan intelektual muda NU Hasan Basri Marwah yang mengapresiasi pementasan wayang kulit dengan dalang Ki Cahyo Kuntadi pada peringatan Harlah ke-95 NU di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/4) malam.
Menurut pria kelahiran pulau Lombok, Nusa Tennggara Barat, ini NU secara berkelanjutan akan memulihkan warisan sah para Wali Songo yang menjadi pelatak dasar tradisi pesantren.
“Dan susunan acara pada harlah NU 95 merupakan suatu yang seharusnya dilakukan NU, dan ini tidak lepas dari kedalaman pengetahuan Kang Said sebai nakhoda NU saat ini,” katanya ketika dihubungi NU Online Ahad (8/4).
Ketika ditanya, kenapa apresiasi terhadap kesenian itu belum merata di pesantren-pesantren, menurut Ketua Lembaga Seni Budaya Yogyakarta ini, hal itu soal tanggal main aja.
Bagaimanapun, lanjutnya, pesantren memiliki dinamika seperti masyarakat lain. Dinamika itu akan memberi ruang bagi kesenian dalam dunia pesantren, apalagi kalau PBNU sudah menabuh gongnya.
Akomodasi kembali wayang, menurutnya, harus dilihat juga melalui proses. Contoh kasus, ketika tahun 2011 PBNU melalaui Lesbumi mengadakan peringatan Limaratus Tahun Kanjeng Sunan Kali Jaga dengan menggelar pertunjukan sebelas malam berturut turut.
Panitia saat itu tidak terobligasi dengan tuntutan memeratakan wayang bagi pesantren, tetapi husnud zhan bahwa akan merespons semua ikhtiar yang memulihkan tradisi pesantren.
“Dan terbukti, tidak sampai setahun, beberapa pesantren menggelar wayang dalam acara acara mereka,” katanya.
Ki Dalang Cahyo Kuntadi memeriahkan harlah NU dengan lakon atau cerita berjudul Jamus Kalimasada. (Abdullah Alawi)