Ngaji Suluk Maleman: Peradaban Manusia Modern Terjebak Sifat Iblis
Ahad, 21 Februari 2021 | 11:30 WIB
Jakarta, NU Online
Habib Anis Sholeh Ba’asyin menyebut sifat iblis yang seringkali ditiru dan ditunjukkan manusia di dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari sikap berpolitik, ekonomi, sosial, hingga budaya. Singkatnya, ia menegaskan bahwa seringkali peradaban manusia modern terjebak untuk meniru sifat iblis.
“Dengan rasa adigang adigung adiguna-nya, Iblis yang merasa terbuat dari api, tersinggung karena posisi sosialnya terganggu dengan hadirnya sosok baru. Ini adalah sifat dasar iblis. Tapi entah kenapa sekarang ini justru banyak yang ikut-ikutan menirunya,” tegasnya dalam Suluk Maleman edisi ke-110 yang digelar secara virtual, pada Sabtu (20/2) malam.
Topik bahasan yang diangkat adalah soal pepatah Jawa yakni adigang (mengandalkan kekuatan), adigung (mengandalkan kekuasaan), dan adiguna (mengandalkan kecerdasan yang dimiliki). Habib Anis menyampaikan bahwa pepatah Jawa itu serupa sifat iblis saat Adam hendak dijadikan khalifah di bumi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia modern kerap menganggap dirinya sebagai penguasa semesta. Karena itu banyak manusia yang seringkali merasa boleh untuk mengeksploitasi bumi secara tidak bertanggung jawab atau kebablasan, lantaran menganggap manusia sebagai pusat dari semesta.
“Padahal khalifah yang dimaksud bukan menempatkan manusia sebagai pusat, tapi sebagai wakil. Artinya ada aturan, ada batas yang harus ditaati. Kalau aturan tidak ditaati tentu akan merusak,” tegas Habib Anis.
Sikap adigang, adigung, dan adiguna itulah yang kemudian membuat manusia seringkali lupa. Banyak yang menganggap perolehan atau prestasi diri bukan karena rahmat Allah, sehingga saat mendapatkannya tidak pernah merasa bersyukur, karena menganggap apa yang diterima memang sudah haknya.
Padahal menurut Habib Anis, jika seseorang mendapatkan berbagai torehan keberhasilan, hendaknya beristighfar bukan justru menuntut lebih. “Kalau memang merasa sebagai pusat semesta, tapi kenapa disaat pandemi ini, hanya dengan menghadapi virus yang begitu kecil saja manusia sudah tidak berdaya,” lanjutnya.
Hal lain yang menjadi wujud dari sifat adigang, adigung, dan adiguna itu adalah menolak perspektif orang lain tanpa mempertimbangkan sebelumnya. Habib Anis menganalogikan, ketika ada seribu pintu dan hanya menerima satu saja, maka itu menunjukkan kita telah menolak 999 pintu yang lain.
“Karena merasa punya ilmu, lalu menganggap orang lain tak punya ilmu juga harus diwaspadai. Sifat adigang, adigung, adiguna seringkali merasa mampu menguasai bahkan mengendalikan orang lain. Adigang, adigung, adiguna terjadi di semua sektor tapi tidak disadari,” imbuhnya.
Ia kemudian menjelaskan contoh dari penolakan terhadap perspektif orang lain tanpa pertimbangan. Salah satunya dengan hanya menganggap obat kimia pabrikan sebagai satu-satunya solusi untuk mengobati penyakit. Bahkan, kata Habib Anis, pandangan seperti itu bisa saja menjadi sebuah kesalahan yang fatal.
“Banyak yang menggunakan pengobatan berdasarkan pembuktian sejarah yang berlangsung bertahun-tahun. Seperti dulu saat sakit perut, orang Jawa tidak memikirkan obat farmasi tapi daun jambu muda diberi garam. Ini terbukti dari waktu ke waktu meski tidak menggunakan pembuktian laboratorium,” terang Habib Anis.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa doa tetap mampu menyelamatkan manusia, terutama saat kondisi pandemi yang serba sulit ini. Namun, doa harus diawali dengan taubat.
“Taubat itu mampu membuat semua menjadi nol kembali. Allah akan selalu hadir dalam setiap peristiwa yang ada. Cuma terkadang kita yang merepotkan diri hingga tak menyadari,” tegas Habib Anis.
Sebagai informasi, meskipun para narasumber berbicara melalui daring dan di rumah saja, tetapi acara tetap berjalan dengan cukup hangat. Ribuan warganet terlihat cukup aktif mengikuti jalannya pengajian streaming melalui beberapa kanal media sosial.
Bahkan, sejumlah penonton juga turut memberikan tanggapan. Selain itu, Diskusi Suluk Maleman kali ini juga dimeriahkan oleh Koleksi musik Sampak GusUran.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad