Nasional

NU Kukuhkan Peran sebagai Otoritas Agama, Perkuat Otoritas Politik

Selasa, 30 Januari 2024 | 17:30 WIB

NU Kukuhkan Peran sebagai Otoritas Agama, Perkuat Otoritas Politik

Halaqah Nasional Strategi Peradaban NU di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, Senin (29/1/2024). (Foto: dok. PBNU)

Yogyakarta, NU Online

Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 101 tahun berdasarkan kalender hijriah. Di usianya yang satu abad lebih satu tahun ini, NU berupaya untuk mengukuhkan diri menjadi organisasi yang memiliki otoritas dalam agama dan memperkuat negara sebagai otoritas politik.


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menjelaskan bahwa otoritas agama (hukumah diniyah) dan otoritas politik (hukumah siyasiyah) pada mulanya menyatu dalam satu institusi. Sebab, sultan sebagai pemimpin politik di zaman dulu juga merupakan hakim yang juga memutuskan perkara keagamaan, tidak hanya hal-hal profan.


Namun dalam perkembangannya, kedua hal tersebut terpisah. NU dalam hal ini memperkokoh peranannya sebagai otoritas agama, sedangkan otoritas politik negara dibangun secara bersama dengan pemimpin bangsa lainnya.


"Hukumah siyasiyah didirikan bersama pemimpin bangsa lain," kata Gus Yahya dalam Halaqah Nasional Strategi Peradaban NU di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, Senin (29/1/2024).


Meskipun otoritas agama dan politik ini terpisah, tetapi keduanya memiliki hubungan yang saling terpaut satu sama lain dan sinergis. Otoritas agama dalam hal ini adalah manhaj Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah, sedangkan otoritas politik dengan bentuk negara bangsa memang tidak ada rujukannya dalam referensi. Meski demikian, Gus Yahya menegaskan bahwa hal tersebut merupakan ijtihad para ulama yang mendirikan dan memimpin NU.


"Secara analitik bisa dipisahkan, tetapi sebetulnya ada saling paut yang sangat erat," kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.


Lebih lanjut, Gus Yahya menjelaskan bahwa idealisme tentang keagamaan maupun kebangsaan itu sudah dirumuskan. Karena itu, jika bicara tentang peradaban maka bisa dipandang sebagai perwujudan sosial politik dari suatu cara pandang dunia yang kurang lebih dominan.


Peradaban Barat yang mendominasi dunia hari ini, misalnya, tentu disebabkan cara pandang Barat yang kurang lebih dominan saat ini. 


"Pekerjaan membangun peradaban itu sinergis antara idealisme keagamaan dan sosial politik," katanya.


Dalam konteks keagamaan, Gus Yahya menegaskan bahwa NU harus berani mengatakan sebagai organisasi yang paling benar. Di situlah letak peranan NU sebagai organisasi yang memiliki otoritas agama yang kokoh.


"Jam'iyah ini harus membangun satu salathah diniyah, otoritas keagamaan yang kokoh di tengah umat ini. Kita harus bisa katakan kalau kalian mau agama benar ikut NU," katanya.


Organisasi syariat

Karena itu, Gus Yahya dengan tegas mengatakan bahwa NU adalah organisasi syariat dengan peranannya yang demikian. Sebab, dalam setiap keputusan yang ditetapkannya, NU selalu mendasarkannya pada pertimbangan syariat.


"Pertimbangannya apa? Pasti agama. NU ini organisasi syariat. Masa bukan agama. Apapun kita putuskan, termasuk pembukaan Konbes di Krapyak ini, dasarnya syariat, dengan pertimbangan syariat," tegas Gus Yahya.


Menurutnya, tidak boleh ada pertimbangan selain syariat dalam setiap keputusan NU karena NU adalah organisasi syariat yang didirikan oleh para ulama syariat dengan tanggung jawab syariat. Semuanya dalam NU merupakan syariat, apa pun itu.


"Kalau tidak ketemu landasan syariatnya tidak boleh bikin keputusan. Ini organisasi syariat kok. Keputusan apa pun itu pasti harus dasarnya syariat, tidak boleh tidak," lanjut kiai yang mendapatkan gelar doktor kehormatan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.


Perkuat politik negara bangsa

Berikutnya, Gus Yahya menegaskan peranan NU dalam memperkuat ideologi politik negara bangsa. Hal ini sudah disepakati para pendiri NU bersama dengan pendiri bangsa ini dahulu.


"Kita juga punya fungsi idealisme sama dalam politik ini bersama pemimpin bangsa dahulu. Maka NU harus bekerja memperkuat ideologi politik ini dengan memperkuat negara bangsa yang semakin relevan," katanya.


Di tengah batas geografis fisik yang semakin melemah, sedangkan ada aktor global yang kuat tanpa terhambat batas, satu-satunya benteng pertahanan adalah negara bangsa. Jika tidak memperkuat negara bangsa ini, tidak ada lagi perlindungan. Sebab, ada juga gagasan-gagasan di berbagai belahan dunia yang anti bangsa.


"Kalau bangsa ini ditolak keberadaannya kita tidak punya perlindungan," katanya.


Gus Yahya juga menegaskan bahwa NU mempunyai tugas untuk memperkuat kapasitas negara ini untuk memastikan pelaksanaannya mencapai kemaslahatan bagi bangsa, kehadirannya sampai dan dirasakan, serta sangat diterima oleh rakyat. 


"NU berfungsi sebagai jembatan," pungkasnya.