Nasional

NU Terus Perbaiki Format Sidang Bahtsul Masail

Ahad, 10 Mei 2015 | 18:02 WIB

Jakarta, NU Online
Para kiai NU tetap istiqomah mengemban tugas keulamaannya dalam melayani kebutuhan masyarakat. Mereka hingga kini terus menyempurnakan prosedur bahtsul masail seiring kompleksitas persoalan yang terjadi di tengah masyarakat itu sendiri.
<>
Keputusan Munas NU soal taklid manhaji di Lampung pada 1992, memberikan jalan leluasa bagi para kiai NU masa kini dalam menghadapi persoalan yang lebih kompleks. Selain merujuk secara tekstual atas putusan ulama terdahulu, para kiai NU juga diperbolehkan menggunakan metode ulama 4 madzhab (manhaj) saat menghadapi persoalan.

Katib Syuriyah PBNU KH Afifuddin Muhajir menerangkan panjang lebar mensyarahi keputusan Munas NU soal taklid manhaji di Lampung pada 1992. Menurutnya, pengambilan hukum bisa bersumber dari nash syariah atau hamlun alannash.

Prosedur pengambilan hukum itu secara teknis mensyaratkan para bahitsin untuk memahami asbabun nuzul, asbabul wurud, kaidah kebahasaan yang mencakup nahwu, shorof, balaghoh dan lainnya. Selain mengaitkan satu nash syariah dengan nash lainnya, mereka juga perlu mengaitkan nash dengan maqosidnya.

Cara itu merupakan teknik pengambilan hukum dari nash (istinbath minan nushush). Kiai Afif juga menguraikan secara sederhara model pengambilan hukum dari bukan nash (istinbath min ghoirin nushush).

“Semua cara ulama itu sebuah keniscayaan karena problema yang muncul jauh lebih banyak dan lebih kompleks. Sementara jumlah nash syariah terbatas,” kata Kiai Afif yang diangkat untuk mensyarahkan model taklid manhaji pada bahtsul masail pra-muktamar NU di pesantren Al-Manar Al-Azhari, Limo, Depok, Sabtu (9/5).Sementara narasumber lainnya Prof DR Said Agil Husin Al-Munawwar menyatakan bahwa semua istilah metodis yang dikemukakan Kiai Afifuddin Muhajir sudah digunakan ulama terdahulu.

“Semua penjelasan itu sudah ada di kitab ushul fiqih klasik. Tinggal bagaimana metode itu dibuat sebagai juknis bahtsul masail. Karena, tantangan kita ialah juga menjawab masalah yang sama sekali baru,” kata Said Agil yang kuliah di Timur Tengah khusus mendalami Ushul Fiqih.

Hadits dhoif pun bisa dijadikan dasar hukum. Dhoif di sini ialah dhoif yang hasan, bukan dhoif pada tiga kategori shohih, hasan, dan dhoif itu. “Sampai sejauh ini, kelompok Wahabi belum bisa mengelompokkan hadis dhoif yang kerap digunakan kalangan Aswaja,” kata Said Agil. (Alhafiz K)


Terkait