Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) tetap menghormati perbedaan pendapat dalam menentukan awal puasa. Jika ada orang atau organisasi mempunyai pemahaman tersendiri terhadap perintah syariat mengenai mekanisme penentuan awal Ramadhan maka NU mempersilahkan sepanjang mereka mempunyai dasar atau argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.<>
Hal itu dikemukan Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH Ghazalie Masroeri di kantor PBNU, Rabu (18/7), saat silaturahim lembaga, lajnah, dan banom di lingkungan NU dengan tema Menyambut Ramadhan 1433 H. Silaturahim ini bertujuan untuk menjelaskan kemungkinan perbedaan awal puasa yang mungkin terjadi.
Perbedaan itu, sambung Kiai Ghazalie disebabkan perbedaan metode hisab, “Di Indonesia, setidaknya ada 20 macam metode hisab. Karena berbeda, metode hasilnya pun berbeda,” ujarnya.
Sekretaris LFNU Nahari Muslih menambahkan, metode hisab bisa dibagi ke dalam dua bagian, yaitu metode taqribi dan metode tahqiqi/tadqiqi/’ashri.
“Yang masuk taqribi adalah kitab atau metode Sulamun Nairayn, Ittifaq Dzatil Bayn, Fathu Rouf fil-Manan, minimal tiga ini. Sementara yang tahqiqi/tadqiqi/’ashri adalah kitab atau metode Al-Mawaqid dan beberapa kitab lain serta beberapa metode hisab modern seperti Newcomb dan Ephemeris,,” ungkapnya.
Lanjut Nahari, sebenarnya mushonif (pengarang kitab/metode) tidak mau diikat dengan kategori itu. Tapi untuk memudahkan, para ahli hisab membuat kategori semacam itu. Karena kalau direkap, tanggal sekian, menurut Sulam sekian derajat. Menurut metode lain, sekian derajat. Itu kelihatan beda sekali.
Ia juga menegaskan, NU tetap menghargai perbedaan awal penentuan 1 Ramadhan. Ia menanggapi kalangan tarekat Naqshabandiyan Sumatera Barat yang sudah lebih dulu puasa.
“Keyakinan mereka seperti itu, ya sudah. Tak apa-apa. Kita hormati saja. Mereka punya hitungan sendiri,” tambahnya.
Penulis: Abdullah Alawi