Pakar: Kebebasan Sipil Akan Bermakna Bila Diaktualisasikan dalam Partisipasi Politik
Selasa, 11 November 2025 | 14:45 WIB
Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof Robertus Robert Seminar Publik Konferensi Nasional Kebebasan Sipil (KNK-KS) 2025 bertema Memperluas Partisipasi, Melawan Represi yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Selasa (11/11/2025). (Foto: tangkapan layar zoom)
Jakarta, NU Online
Pakar Ilmu Filsafat Prof Robertus Robert menegaskan bahwa kebebasan sipil baru akan bermakna apabila diaktualisasikan dalam bentuk partisipasi politik warga.
Menurutnya, kebebasan sipil tidak dapat dipahami sebagai kebebasan tanpa batas, melainkan sebagai pengakuan hukum atas warga yang hidup bersama dalam suatu komunitas politik.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Seminar Publik Konferensi Nasional Kebebasan Sipil (KNK-KS) 2025 bertema Memperluas Partisipasi, Melawan Represi yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Selasa (11/11/2025).
Robert menjelaskan bahwa partisipasi politik bukan hanya hak warga negara, tetapi merupakan tindakan kebebasan itu sendiri. Kebebasan sipil, ujarnya, tidak memiliki makna jika tidak diwujudkan dalam keterlibatan publik.
“Karena kebebasan sipil yang tidak berpartisipasi adalah kebebasan yang mandul. Kita bebas sejauh kita berpartisipasi dalam membuat hukum, dalam mengawasi kekuasaan, dalam memastikan keadilan dijalankan,” jelas Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Ia menerangkan bahwa perbedaan utama antara kebebasan sipil dan partisipasi publik terletak pada asumsi antropologis mengenai manusia. Dalam tradisi liberal, manusia dipahami lahir bebas dan otonom sebagaimana prinsip men are born free and equal (manusia dilahirkan bebas dan setara). Sementara tradisi republikanisme menekankan bahwa kebebasan hanya ada melalui partisipasi dalam kehidupan politik bersama.
“Kebebasan sipil lahir dari ideal-ideal liberal, sementara partisipasi merupakan ruh dari tradisi republikanisme. Dua hal ini sering tampak bertabrakan, tapi justru penting untuk dikombinasikan,” ujarnya.
Lebih jauh, Robert menekankan bahwa kebebasan sipil menjadi ruang perantara antara negara dan individu, tempat warga saling mengakui hak dan tanggung jawab secara timbal balik. Dalam ruang itulah kebebasan diwujudkan dalam kepatuhan terhadap hukum yang dibuat bersama.
“Di sinilah paradoks kebebasan sipil. Kita bicara tentang kebebasan, tapi di dalam batas hukum. Manusia tidak bebas karena tanpa aturan, melainkan bebas karena mengakui hukum yang ia tetapkan sendiri,” paparnya.
“Kepatuhan itu bukan perbudakan, tapi bentuk tertinggi dari kebebasan. Karena melalui hukum yang kita buat bersama, kita menegaskan diri sebagai warga yang setara,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif PSHK Rifky Argama menyampaikan bahwa kondisi represi di Indonesia saat ini hadir secara halus dan sistematis.
Ia menyinggung Delpedro Marhaen, salah satu penulis makalah terpilih yang tidak bisa hadir karena tengah menjalani proses hukum sebagai tahanan politik.
“Di ruang digital, di kampus, di forum-forum publik, kritik sering dibatasi, suara warga dibungkam, partisipasi disempitkan. Padahal partisipasi adalah napas utama demokrasi dan dari ruang yang sempit, Delpedro tetap menulis dan mengirimkan gagasannya. Ia mengingatkan kita bahwa ide tidak bisa dibelenggu,” ucap Rifky.