Pakar Sebut Pilkada Dipilih DPRD Hanya Pindahkan Masalah
Selasa, 17 Desember 2024 | 11:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dipilih melalui mekanisme di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hanya memindahkan masalah. Menurutnya, akar masalah itu adalah biaya informal yang dikeluarkan para calon cukup tinggi.
Ia mengakui bahwa sebetulnya evaluasi dalam Pilkada memang perlu dilakukan, akan tetapi perlu diperhatikan cara dalam menganalisis masalah itu. Ia membagi dalam konteks politik, sosial, hukum, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya, suatu masalah itu terbagi dari yang ada namanya masalah (atas), gejala (tengah), akar masalah (bawah).
"Masalah sosial, hukum, dan politik akan lebih baik solusinya lebih berkelanjutan kalau akar masalahnya yang kita selesaikan bukan gejalanya," kata Bivitri melalui pernyataan resminya dikutip NU Online, pada Selasa (17/12/2024).
Terkait akar masalah dari biaya informal, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu menjelaskan bahwa para calon masih melalukan penyimpangan dana bantuan sosial (Bansos), serangan fajar, mencetak baliho, dan kaos kampanye. Padahal hal itu merupakan tindakan yang tidak perlu.
Selain itu, Bivitri mengatakan para calon juga mengeluarkan biaya formal yang juga sangat mahal sekali, yaitu penggunaan biaya untuk Tim Sukses (Timses) logistik, bahkan hingga "Pinjam Perahu" manakala sang calon tidak memiliki partai.
Bivitri mengungkapkan, kegiatan semacam itu dilakukan oleh tatanan elite politik, meski pada akhirnya melibatkan rakyat karena suaranya diperebutkan.
"Nah teman-teman coba bayangkan kalau dipindah ke DPRD. Sementara kita akan ketemu akar masalahnya ternyata adalah politikus dan partai politik karena yang menyalahgunakan bantuan sosial resmi pemerintah, yang ngasih serangan fajar, yang uang perahu segala macam kan mereka tuh politikus dan elite politik dan partai politiknya," jelasnya.
Suara rakyat masih terbukti kuat
Sebenarnya, suara rakyat dalam pencoblosan masih kuat dan dapat memaksa dibeberapa daerah untuk mengikuti keputusan rakyat. Bivitri menyebutkan setidaknya ada dua contoh, yaitu Pilkada Jakarta yang calonnya diusung oleh penguasa dapat dikalahkan melalui Pilkada serentak.
"Atau ketika kotak kosong menang di Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka," katanya.
Hal itu menurut Bivitri sudah bisa menjadi indikasi bahwa suara rakyat terbukti kuat, sehingga menurutnya perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut seperti pendidikan politik untuk masyarakat luas.