Jakarta, NU Online
Saat ini Indonesia tengah menghadapi tiga beban permasalahan mengenai gizi yaitu gizi pendek dan sangat pendek atau stunting, berkelebihan gizi atau obesitas, dan kekurangan zat gizi mikro seperti anemia.
Hal tersebut diungkapkan pengurus Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LK PBNU) dr Helwiyah Umniyati dalam Seminar Online bertajuk Gizi Seimbang untuk Meningkatkan Imunitas di Masa Pandemi Covid-19 bagi Santri, pada Rabu (11/10).
Dalam pemaparannya, dr Helwi menyampaikan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI pada 2018 yang menunjukkan bahwa remaja usia 13-15 tahun terdapat 25,7 persen dan remaja pada usia 16-18 tahun ada 26,9 persen mengalami gizi pendek.
Di sisi lain ada pula yang mengalami kondisi kurus dan sangat kurus. Sebanyak 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 8,1 persen remaja usia 16-18 tahun di Indonesia mengalami kondisi kurus dan sangat kurus.
Sementara untuk kasus berat badan lebih, data Riskesdas menunjukkan angka 16 persen remaja usia 13-15 tahun dan 13,5 remaja usia 16-18 tahun mengalami kondisi obesitas atau berat badan lebih.
Obesitas juga dialami pada anak balita yang menunjukkan angka 13,6 persen. Sementara pada anak usia 6 hingga 18 tahun sebanyak empat persen. Pada orang dewasa dan usia lanjut, hampir 22 persen.
Dari sisi gender, obesitas pada laki-laki menunjukkan angka 14,5 persen. Sementara pada perempuan lebih tinggi, yakni 29,3 persen.
Di sisi lain yang menjadi permasalahan di Indonesia mengenai gizi bagi anak-anak adalah karena rendahnya konsumsi sayur dan buah pada usia lima tahun ke atas.
"Kalau kita lihat data terbaru dari Riskesdas bahwa anak yang tidak konsumsi sayur dan buah ada sekitar 10,7 persen. Sementara yang kurang mengonsumsi sayur dan buah serta termasuk yang tidak mengonsumsi itu sebanyak 95,4 persen dari masyarakat Indonesia di usia lima tahun ke atas," ungkap dr Helwi.
Dampak bagi remaja
dr Helwi mengungkapkan dampak yang akan berisiko pada remaja. Dampak tersebut adalah penyakit tidak menular dapat mudah menyerang. Penyakit tidak menular ini bukan hanya menyerang pada usia lanjut tetapi telah bergeser ke usia muda dari semua kalangan ekonomi.
"Penyakit tidak menular itu seperti diabetes dan hipertensi. Itu merupakan masalah utama kita," katanya.
Penyebab penyakit tidak menular itu juga erat kaitannya dengan pola atau gaya hidup masyarakat yang tidak sehat. Beberapa di antaranya adalah kurang beraktivitas fisik atau olahraga, perubahan pola makan masyarakat (makanan berkolesterol dan makanan cepat saji), dan kebiasaan merokok.
"Nah lebih separuh dari semua kematian di Indonesia itu merupakan akibat penyakit tidak menular," tuturnya.
Dampak lain bagi remaja perempuan yang kekurangan zat gizi mikro, ketika menikah dan melahirkan, bayinya akan kurang berat badan atau Bedan Badan Lahir Rendah (BBLR) serta stunting. Berat bayi yang rendah itu di bawah 2500 gram dan panjangnya kurang dari normal.
"Remaja yang kurang zat gizi mikro itu juga akan mengalami komplikasi saat melahirkan. Di sisi lain, anak-anak yang lahir BBLR ketika dewasa dapat mengalami penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung di kemudian hari," paparnya.
Menurutnya, remaja sehat bukan hanya dilihat dari fisik tetapi juga kognitif, psikologis, dan sosial. Periode remaja merupakan windows of opportunity (jendela kesempatan) yang sangat sensitif dalam menentukan kualitas hidup ketika dewasa. Hal tersebut akan berlanjut dalam menghasilkan generasi selanjutnya.
Solusi gizi seimbang
Gizi seimbang perlu dikonsumsi untuk mengatasi persoalan gizi buruk yang telah dipaparkan itu. Artinya, tidak berlebih dan tidak berkekurangan dalam mengonsumsi gizi, terutama bagi tahap perkembangan anak dan remaja.
"Seperti kita tahu dalam hadits Nabi yang dikatakan bahwa makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Jadi jangan berlebihan dan jangan kurang," ungkapnya.
Gizi seimbang, lanjutnya, susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Lebih jauh, gizi seimbang berarti memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih, dan memantau berat badan secara benar.
"Hal itu dalam rangka mempertahankan berat badan normal untuk mencegah masalah gizi," kata dr Helwi.
Kemudian ia juga memaparkan sepuluh pedoman gizi seimbang dari Gerakan Masyarakat HIdup Sehat (Germas) Kemenkes RI. Pertama, mengonsumsi aneka ragam makanan pokok. Kedua, batasi konsumsi makanan manis, asin, dan berlemak. Ketiga, lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan ideal.
Keempat, biasakan mengonsumsi lauk-pauk yang mengandung protein tinggi. Kelima, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir. Keenam, biasakan sarapan pagi. Ketujuh, biasakan minum air putih yang cukup dan aman.
Kedelapan, banyak makan buah dan sayur. Kesembilan, biasakan membaca label pada kemasan pangan. Kesepuluh, syukuri dan nikmati aneka ragam makanan.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan