Pawon Kartini, Ruang Penopang Kehidupan Domestik Budaya Jawa
Jumat, 10 Oktober 2025 | 16:45 WIB
Rembang, NU Online
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang usai menggelar seminar kajian kolektif terkait Pawon (dapur) Kartini menjelang memperingati hari Museum Nasional di Pendopo Museum Raden Ayu Kartini, Rembang, Jawa Tengah, pada Jumat (10/10/2025).
Kegiatan ini membahas tentang Pawon Kartini yang menjadi ruang penopang kehidupan budaya di tanah Jawa.
Anggota Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Putri Novita Taniardi menyebut, Pawon Kartini dapat menjadi warisan budaya yang mengandung nilai, fungsi, dan pelestarian.
"Ternyata, bagian rumah paling belakang yang kita semua kira tidak ada nilainya ini memiliki nilai, fungsi, dan pelestarian yang harus selalu kita jaga," ucap Putri.
Ia memulai dengan membahas secara rinci bagian bangunan rumah yang kini menjadi museum RA Kartini di Kabupaten Rembang
"Komponen dalam struktural pendopo ini bisa kita lihat dari tahun ke tahun bertransformasi dan beralih fungsi. Dahulu, tempat ini menjadi lokasi dalem, namun pada tahun 2011 area ini menjadi rumah dinas, dan akhirnya membangun sebuah museum Raden Ayu Kartini," jelasnya.
Putri juga menyampaikan, konon dahulunya terdapat kamar ajudan I dan II di area depan yang berperan penting untuk membantu tugas bupati.
Putri mengatakan bahwa pada zaman dahulu, dunia pawon (dapur) erat sekali dengan perempuan. Bahkan, sampai dijadikan secara simbolik bahwa perempuan itu semestinya berada di dapur.
"Dunia pawon kerap disimbolkan bagi perempuan, dan kita kerap mendengar bahwa perempuan zaman dahulu disebut dengan konco wingking (pelengkap rumah tangga)," ujarnya.
Makna koleksi Pawon Kartini
Kendati demikian, makna pawon tidak sesempit itu. Bahkan, melalui peralatan pawon menandakan bahwa ada makna kesetaraan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan.
Baca Juga
RA Kartini Mengaji Kitab Faidhur Rahman
"Melalui museum dan beberapa koleksi Pawon Kartini ini kita dapat menyaksikan seperti apa dinamika perempuan. Ketika kita melihat figur perempuan, mereka tidak serta merta meninggalkan peran domestik yang telah diemban, kita juga diajak untuk membayangkan kehidupan di masa lampau," papar Putri.
Putri Novita juga menyampaikan rasa superioritas dan budaya patriarki di kalangan priyayi amat terasa begitu kuat.
Pawon dalam arsitektur Jawa
Menurut Putri, pawon dari segi arsitektur Jawa mempunyai kesan simbolik bagi tradisional Jawa.
"Berbicara soal dapur tidak hanya tempat untuk mengolah bahan makanan mentah menjadi siap saji, tetapi kita bisa mengambil dari segi Kosmologis, sosiologis, moral," kata dia.
Pemahaman kosmologis terhadap pawon mengacu pada pemahaman jika pawon sebagai pusat spiritual, sosial, dan budaya dalam suatu tata ruang rumah, yang merefleksikan pandangan dunia atau kosmologi masyarakat tertentu.
"Hal ini lebih dari sekadar fungsi tempat memasak, melainkan melibatkan makna filosofis yang mendalam, apalagi di era sekira abad ke 19," katanya.
Di samping itu, Putri juga menjelaskan definisi lain yang lebih sederhana tentang kosmologis pawon.
Ia menjelaskan, kata pawon berasal dari bahasa Jawa awu yang berarti abu. Lokasi tempat banyak kayu dibakar (kemudian menjadi abu) untuk menanak nasi, memasak sayur, serta lauk pauk. Dari proses memasak itu menjadi aliran rezeki dan pembangunan untuk sarana hidup berkelanjutan.
"Sebab dahulu orang memasak dengan kayu bakar. Api menjadi aktivitas utama yang menyimbolkan tentang kehangatan dan keberlanjutan kehidupan manusia," lanjutnya.
Putri menjelaskan bahwa perempuan dalam budaya Jawa tetap memiliki kekuasaan meski terpaku di bagian belakang.
"Pemahaman waktu itu ialah pawon menjadi pusat perempuan karena di situlah perempuan sangat leluasa untuk beraktivitas, bercengkrama dan mempunyai kuasa walaupun di belakang rumah," sahutnya.
Selain itu, di dalam pawon juga terbentuk sebuah tradisi Jawa dengan sebutan 'rewang'.
"Tradisi rewang secara otomatis menciptakan rasa solidaritas antartetangga yang nantinya saling bahu membahu membantu memasak dalam jumlah yang besar secara suka rela, hal ini menciptakan egalitarianisme, serta membentuk jaringan komunitas perempuan," jelasnya.
Pawon, dapur filosofis milik RA Kartini
Putri menyebut, dapur memiliki filosofis yang mendalam. Pembahasan pawon sangat memantik bagi siapa pun untuk berpikir kritis, apakah pawon atau dapur menjadi perhatian dari sosok Kartini itu sendiri atau sebenarnya lebih banyak abdi ndalem yang melakukannya?
"Ini bisa menjadi bahan kajian lanjutan juga mengenai keberadaan keturunan Priyayi seperti Raden Ayu Kartini, apakah beliau sendiri menunjukkan kekuasaan di dapur ataukah diwakilkan oleh pembantu," jawabnya.
Berdasarkan inti tulisan dari Serat Suluk Residriya, kedudukan laki-laki Jawa terlihat superior. Walau begitu, laki-laki bertanggung jawab untuk selalu bisa memberikan persediaan lumbung makanan agar tidak kosong.
Gambaran wanita ideal dalam tradisi Jawa adalah istri yang baik, yaitu istri yang gemi, nastiti, ngati-ati, teliti, sabar, serta mampu melakukan tapa brata.
Tapa brata adalah mampu mengendalikan makan, tidur, dan bergunjing. Pencitraan ideal itu, di satu sisi baik untuk membangun karakter wanita yang berbudi luhur. Namun di sisi lain, pencitraan ideal itu kadang-kadang menyebabkan tuntutan kepada perempuan agar mereka mempunyai citra ideal atau menjadi perempuan yang sempurna.
Di sela-sela paragraf suluk itu juga mengandung arti jika ternyata orang yang berhak mengatur makanan adalah istri pertama.
Melalui sejarah ini, kata Putri, dapat dipahami sebuah fakta bahwa dahulu Raden Ayu Kartini bukan istri pertama, melainkan istri keempat dari keturunan bangsawan.
"Yang saya tekankan adalah peran dari istri pertama. Padahal faktanya Kartini adalah istri keempat dari keturunan bangsawan. Kartinilah yang mempunyai kehendak untuk memberi makan selir. Jadi beda makanannya tetapi aturannya adalah tidak boleh mengambil sisa, dan yang menyediakan harus istri pertama berperan mengatur ketersediaan makanan," sahutnya.
Senada, Hatmadi Agung Suryono, Tenaga Ahli Pelestarian Cagar Budaya Bersertifikat, mengakui bahwa dapur yang terdapat pada rumah adat Jawa memiliki simbol khusus sebagai ruang yang menopang kehidupan manusia.
"Mengapa saya sebut ruang yang menopang?Sebab walaupun pawon itu tidak menjadi ruang prioritas, namun keberadaannya sangat penting dalam kehidupan Jawa," ucap Hatmadi, Konsultan Archapala itu.
Alat-alat di pawon tempo dulu seperti tungku api, dandang, tampah, kipas bambu, dulang kayu, talenan, sutil, sendok sayur, kukusan bambu, ulekan, kendil, dulang, dan cething, mempunyai keunikan dan nilai otentik tersendiri bagi orang Jawa.
Menurut Hatmadi, pawon juga berlaku sebagai simbolis arsitektur Jawa. Konsep rumah Joglo tidak dapat dipahami hanya sebagai bangunan dengan bentuk atap Joglo, tetapi mencakup satu kesatuan arsitektural yang terdiri atas aneka ragam komponen ruang.
"Rumah Joglo terdiri dari pendapa sebagai utama, dan pringgitan sebagai ruang perantara yang dilengkapi dengan gandhok, regol (gapura), seketheng, pawon, longkangan, sumur, serta dinding keliling," tegasnya.
Hatmadi mengatakan bahwa proses pembangunan pawon kerap didirikan paling akhir. Sebab pembangunan pawon dilandasi oleh pandangan hidup leluhur Jawa yang menekankan bahwa kebutuhan makan hanyalah sarana untuk menopang hidup, bukan tujuan akhir.
"Bagi masyarakat Jawa, makan disebut jalan melanggengkan kehidupan manusia agar dapat melanjutkan hidup, dan meraih cita-cita luhur baik dari kesejahteraan, kehormatan, maupun harmoni kompos," pungkasnya.