Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mochammad Maksum Machfoedz menegaskan, impor beras yang akan dilakukan pemerintah dalam waktu dekat ini berarti sama dengan membunuh jutaan petani di Indonesia.
Menurutnya, impor memang sangat mudah. Bahkan dapat mendatangkan keuntungan yang besar. Sebab, harga beras di luar negeri sangat murah lantaran perekonomian di sana baik. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.
“Di Indonesia, biaya produksi pertanian mahal. Karena mengusahakan suatu kegiatan ekonomi yang skalanya pas-pasan. Karena pas-pasan, pasti mahal. Itu rahasia kalau (harga beras) di Indonesia pasti mahal,” ujarnya, saat ditemui di lantai 2 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, Kamis (25/3).
“Tapi apakah petani harus kita bunuh dulu? Kita bunuh dulu petaninya, sehingga kepemilikannya nanti besar, baru kita produksi berasnya bisa efisien. Apa harus seperti itu? Ya tidak. Kita harus punya pilihan. Mau melindungi atau membunuh petani? Kalau mau membunuh petani ya silakan impor-impor saja,” imbuhnya.
Tentu pilihan yang baik adalah dengan melindungi dan melakukan proteksi terhadap kehidupan ekonomi para petani. Konsekuensi dari proteksi ekonomi petani kecil itu adalah dengan cara membatasi importasi.
“Karakter ekonomi pangan kita pelakunya adalah petani-petani yang sangat kecil. Tapi jangan lupa, itu jutaan orang yang harus dilindungi. Tapi kalau mau pilih kebijakan impor, ya kita bunuh dulu petaninya,” tutur Guru Besar Agroindustri Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Maksum menegaskan, pemerintah mestinya mengambil pertimbangan bahwa impor beras akan menghancurkan kehidupan jutaan rakyat kecil yang butuh hidup dan memproduksi padi, meskipun biaya produksi mahal.
“Tapi kita kan tidak boleh membangun kebiadaban terhadap mereka, kalau kita lebih memilih proteksi mereka secara ekonomi. Teman-teman saya bilang, impor saja murah kok, produksi mahal begini. Ya sampean tinggal milih, yang kecil-kecil kita bunuh dulu, baru kita tata ekonomi atau bagaimana,” ucap Maksum.
Tidak ada panduan kebijakan perberasan nasional
Beberapa tahun lalu, Presiden Joko Widodo pernah mengumpulkan beberapa pengamat beras. Maksum menjadi perwakilan dari UGM Yogyakarta. Pada forum itu, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 15 tentang Perberasan dikritisi habis.
“Jadi Inpres itu landasan legal untuk perberasan. Tapi jelas sekali bahwa Inpres itu tidak bisa dioperasikan. Inpres itu saya katakan ‘bodong’ dalam dua hal. Penetapan harga dan rationya tidak masuk akal. Jadi ada ukuran teknis dan ekonomis yang sama sekali tidak masuk akal,” terang Maksum.
Hingga kini, sama sekali tidak ada panduan untuk kebijakan perberasan nasional, kecuali Inpres tersebut dijadikan landasan. Namun di dalam Inpres itu, menurut Maksum, ditetapkan harga yang terlalu rendah dan masih berlaku sampai hari ini.
“Jadi Inpres itu harus dibijaki. Karena kalau tidak, dinaikkan tanpa mengubah Inpresnya. Jadi sebenarnya kan keliru itu, tidak memperbaiki Inpresnya tapi menaikkan angka-angkanya,” tutur Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini.
“Acuan perberasan nasional yang diatur itu tidak jelas. Saya pernah sampaikan ke Jokowi bahwa sebelum BPS diputuskan sebagai lembaga resmi yang legal berhak atas data, itu dulu saya punya tiga data. Jadi kalau mau impor ada datanya,” imbuh Maksum.
Tetapi kasus impor ini terjadi persilangan data di antara beberapa kementerian. Artinya, data soal beras tidak ada sumber atau acuan yang jelas. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi misalnya, melihat kalau harga beras bakal naik sehingga harus impor dari luar negeri. Sebab, Indonesia bisa-bisa tidak punya cadangan beras jika harga naik dan tidak impor.
“Kemudian disetujui oleh Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto). Ekstremnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (mengatakan) surplus beras kok impor. Itu (perbedaan data dan pendapat) selalu terjadi. Barangnya (beras) sama. Kejadian perekonomian nasional sama. Tapi bisa dimaknai macam-macam,” terang Maksum.
Sebelumnya, Akademisi Universitas Islam Malang (UNISMA) Supriyanto menyebutkan, dampak paling bahaya jika impor beras benar-benar dilakukan pemerintah Indonesia adalah para petani akan mogok menanam padi.
“Ini dampak yang paling bahaya, petani enggan menanam padi. Kita akan menjadi importir beras dan itu akan memperburuk keuangan kita secara APBN. Jadi kalau pemerintah ekstrem (impor beras), petani akan mogok menanam. Duit negara akan habis hanya untuk membeli beras,” jelasnya, saat dihubungi NU Online, Rabu (24/3).
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad