Pembentukan Lembaga Politik Tidak Disepakati di Munas-Konbes NU 2021
Ahad, 26 September 2021 | 09:45 WIB
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2021. (Foto: NU Online/Ontiwus)
Jakarta, NU Online
Peserta Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2021 tidak sepakat jika dibentuk lembaga khusus di bidang politik dalam tubuh ormas terbesar di Indonesia ini. Keputusan Komisi Organisasi ini dikukuhkan melalui Sidang Pleno Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2021 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Ahad (26/9).
Perwakilan dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah menyampaikan bahwa kebijakan-kebijakan politik perlu berada di bawah Syuriyah. Dalam hal ini, jika hal tersebut memang dibutuhkan, menurutnya, cukup diberikan kepada A'wan.
Sementara itu, perwakilan dari PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta menegaskan bahwa pembentukan komisi politik tidak perlu. Namun, menurutnya, akan lebih tepat jika istilah tersebut diubah menjadi komisi kebijakan yang dibentuk sebagai masukan kepada syuriyah.
Ketidaksepakatan juga ditunjukkan oleh perwakilan Pimpinan Pusat Fatayat NU. Margaret Aliyatul Maimunah, Sekretaris PP Fatayat NU, mengkhawatirkan terjadinya harapan yang sebaliknya. “Tidak setuju, alih-alih menjaga seolah memformalkan dalam bidang politik,” katanya.
Walaupun usulan pembentukan lembaga khusus di bidang politik tidak disetujui oleh sidang, beberapa wilayah mengusulkan di masing-masing tempat ada forum yang tidak mengikat.
Dikutip dari draf Munas dan Konbes NU 2021, usulan pembentukan lembaga atau forum koordinasi dan pemberdayaan politik ini didasari atas keputusan Muktamar tahun 1984 NU menyatakan diri kembali ke Khitthah 1926 yang berarti NU secara kelembagaan menegaskan dirinya sebagai jam'iyah diniyah ijtima'iyah. NU tidak lagi berurusan dengan kegiatan politik praktis dan dikembalikan tanggung jawabnya ke individu masing-masing. Sejak menyatakan diri kembali ke Khitthah NU 1926, keterlibatan NU dalam dunia politik adalah bersifat politik kenegaraan dan politik kebangsaan.
Posisi NU dalam bidang politik seperti itu dirasakan sebagai pilihan yang tepat strategis karena NU bisa lebih berfokus melaksanakan fungsi dan peran dalam bidang agama, dakwah, pendidikan dan kebudayaan. Sekalipun demikian, eksistensi NU sebagai jam'iyah diniyah ijtima'iyah tidak steril dari dunia dan kegiatan politik praktis.
Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih-lebih di era demokrasi liberal yang terjadi di negeri ini, banyak mempengaruhi konsistensi NU untuk tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.
Penyelenggaraan pemilihan umum yang berlangsung saban lima tahun sekali, yang meliputi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Legislatif dan Pemilu Kepala Daerah, secara tidak langsung seringkali memperhadapkan NU untuk menjatuhkan pilihan-pilihan politik yang semestinya menjadi urusan perseorangan warga NU. Di sinilah yang kemudian melahirkan gangguan terhadap Khitthah NU.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin