Pembungkaman Mahasiswa Langgar Etika dan Ancam Kebebasan Akademik
Kamis, 31 Oktober 2024 | 15:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ancaman kebebasan akademik terus bermunculan dalam berbagai bentuk terbaru menimpa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. BEM Unair sempat dibekukan Dekanat usai melayangkan kritikan terhadap Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menggunakan karangan bunga bernada satire.
Namun tekanan kuat publik yang menentang kebijakan itu, termasuk permintaan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro pada Ahad (27/10/2024) malam pihak dekanat mencabut pembekuan sementara tersebut.
Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP Unair, Airlangga Pribadi Kusman menilai pembekuan ini melanggar etika akademik. Etika akademik berlandaskan nilai-nilai intrinsik yang harus dipegang oleh seluruh civitas akademik, dari dosen hingga mahasiswa dalam pencarian kebenaran.
Baca Juga
5 Etika dalam Mengkritik Penguasa
"Proses yang dilakukan oleh BEM, saya tidak melihat adanya pelanggaran etika akademik karena apa yang ditampilkan dalam aksi satire dari mahasiswa hanyalah merupakan pantulan cerminan dari apa yang sedang berlangsung di masyarakat terkait dengan kondisi politik," kata Airlangga di Surabaya, Rabu (30/10/2024).
Universitas sebagai bagian dari ruang publik yang bebas, lanjut dia, salah satu perannya melakukan koreksi terhadap langkah institusi negara apabila melakukan tindakan yang sewenang-wenang.
Misalnya ekspansi dari institusi pasar ekonomi ketika mengeksploitasi negara, maka ruang publik seharusnya dibiarkan bebas untuk tampil mengoreksi keadaan.
"Dalam konteks ini, etika akademik Indonesia sudah puluhan tahun terkikis karena bahasa eufemisme yang ditanamkan oleh rezim sejak era Soeharto," kata Dia.
Warisannya itu saat ini suatu realitas yang hendak dianalisis oleh kalangan akademik atau mahasiswa namun kemudian dibungkam dibuat sehalus mungkin dalam bahasa sesantun mungkin sehingga realitas itu tidak kelihatan.
"Ini yang kadang-kadang kalangan intelektual dan akademisi salah paham terkait dengan etika akademik," katanya.
Airlangga menjelaskan etika akademik tidak identik dengan eufemisme bukan soal keelokan berbahasa, bukan pula kesantunan berbahasa. Apa yang dilakukan BEM Unair yang diartikulasikan sebagai aksi satire merupakan bentuk seni.
"Mereka hanya melakukan dalam bentuk seni kreativitas tentang analitis yang sedang berlangsung dalam realitas politik," jelasnya.
"Ketika semua dibungkam justru masyarakat kita abai terhadap personal ini. Eksekutif, legislatif abai maka mahasiswa harus diberi ruang dan itu adalah peran dari kampus," imbuhnya.
Wakil Presiden BEM Unair, Gavin Nayottama menegaskan bahwa pembekuan ini mencerminkan ancaman nyata terhadap kebebasan akademik dan iklim demokrasi di kampus.
Tindakan sepihak tanpa pemberitahuan menandakan adanya tekanan untuk membatasi kebebasan berekspresi, terutama terkait kritik terhadap isu politik nasional.
Kebebasan akademik seharusnya melindungi hak civitas kampus, termasuk mahasiswa dan dosen, untuk mengkaji dan menyuarakan isu-isu sosial politik secara kritis.
"Situasi ini bisa menimbulkan efek yang sama jika mendapatkan kasus serupa bahwa ada intervensi atau intimidasi dalam bentuk apapun. Misalnya dalam bentuk karya-karya atau puisi," ujar Gavin.
Ia mendorong lingkungan akademik yang sehat, terbuka untuk dialog dan kritik konstruktif, dengan menekankan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang seharusnya dihormati institusi pendidikan.
Menurutnya, kampus merupakan tempat berkembangnya pemikiran kritis, terutama di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang fokus pada studi politik dan sosial.
"Mahasiswa diharapkan bisa kritis terhadap kebijakan publik atau aktor publik dengan bebas namun harus berdasarkan kajian dan fakta yang ada tanpa terancam atau dibatasi oleh sanksi apapun dan ancaman pidana," imbuhnya.
Dekan FISIP Unair Bagong Suyanto membekukan kepengurusan Presiden BEM, Wakil Presiden BEM serta Menteri Politik dan Kajian Strategis. Namun pada Senin (28/10/2024) mencabut pembekuan sementara itu.
Bagong Suyanto mengatakan pencabutan pembekuan didasarkan pada pembicaraan Dekanat dengan BEM FISIP, yang menyepakati perlunya menghormati kebebasan berpendapat tetapi harus mengedepankan penggunaan diksi yang seusai dengan kultur akademik.
"Kami sepakat untuk memilih menggunakan diksi yang sesuai dengan kultur akademik. Kami paham apa yang disuarakan oleh BEM FISIP ya, itu menjadi hak BEM FISIP untuk menyuarakan apa yang menjadi aspirasi mereka," jelas Bagong.