Nasional

Penanganan Bencana Harus Mengedepankan Hak Perempuan

Senin, 22 Desember 2025 | 12:00 WIB

Penanganan Bencana Harus Mengedepankan Hak Perempuan

Warga penyintas di Aceh Tengah. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)

Jakarta, NU Online

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria Ulfah Anshor, menegaskan bahwa penanganan penyintas bencana di wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat harus mengedepankan pemenuhan hak-hak perempuan. Menurutnya, penanganan bencana selama ini belum sepenuhnya sensitif gender dan masih mengabaikan kebutuhan spesifik perempuan, terutama dalam situasi darurat di pengungsian.


Maria menyoroti kondisi perempuan penyintas bencana yang menghadapi berbagai persoalan serius, khususnya ibu hamil dan perempuan yang sedang menjalani proses reproduksi. Ia menilai pelayanan negara terhadap kelompok tersebut masih jauh dari memadai.


“Di pengungsian banyak perempuan yang sedang menjalani proses reproduksi, tetapi tidak ada air bersih dan tidak tersedia kamar mandi yang layak,” ujarnya saat ditemui NU Online di Ciganjur, Jakarta, Ahad (21/12/2025).


Kondisi tersebut, lanjut Maria, berdampak langsung pada keselamatan dan kesehatan perempuan, terutama ibu hamil yang harus melahirkan di tengah situasi darurat. Ia menegaskan bahwa kebutuhan perempuan tidak dapat disamakan dengan kebutuhan laki-laki.


“Ada dua hal yang harus segera ditangani. Pertama, pemerintah, termasuk BNPB, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan kementerian terkait lainnya, harus mempertimbangkan pengadaan bantuan yang sesuai dengan kepentingan perempuan. Kebutuhan ini tidak bisa digantikan dan tidak bisa dilakukan oleh laki-laki,” tegasnya.


Selain itu, Maria menyoroti kesulitan perempuan yang sedang menstruasi di pengungsian. Keterbatasan akses terhadap pembalut dinilai menjadi persoalan serius yang kerap luput dari perhatian.


“Mereka kesulitan mendapatkan pembalut, dan itu menjadi problem bagi perempuan,” katanya.


Ia juga menekankan bahwa persoalan sanitasi di pengungsian merupakan isu krusial yang harus segera dibenahi. Ketersediaan toilet yang terbatas, kondisi air yang tidak layak, serta pembagian jumlah toilet yang disamakan antara laki-laki dan perempuan dinilai tidak adil dan tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan.


“Waktu yang dibutuhkan perempuan dan laki-laki untuk menggunakan toilet itu berbeda. Perempuan membutuhkan waktu lebih lama, sementara laki-laki bisa lebih singkat,” jelasnya.


Maria mengingatkan bahwa di banyak lokasi pengungsian, jumlah perempuan justru lebih banyak dibanding laki-laki. Oleh karena itu, penyediaan fasilitas sanitasi harus disesuaikan dengan komposisi dan kebutuhan pengungsi.


“Ini harus dicek, berapa jumlah toilet untuk perempuan dan berapa jumlah perempuan yang mengaksesnya,” ujarnya.


Lebih jauh, Komnas Perempuan juga menyoroti tingginya risiko kekerasan seksual di lokasi pengungsian yang masih digabung tanpa pemisahan dan pengamanan yang memadai.


“Pengungsian yang masih digabung menjadi satu sangat rentan terhadap perlakuan kekerasan seksual,” kata Maria.


Saat ini, Komnas Perempuan tengah melakukan pemantauan langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data dan temuan. Hasil pemantauan tersebut akan dilanjutkan dengan kajian serta penyusunan rekomendasi kepada pemerintah dengan mengedepankan pemenuhan hak-hak perempuan.


“Kami terus melakukan pemantauan, kajian, dan memberikan masukan. Setelah itu, kami akan menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif, untuk penghentian kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam situasi apa pun, termasuk dalam bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat,” pungkas Maria.