Nasional

Penanggulangan Aksi Terorisme harus Memperhatikan perspektif Gender

Jumat, 29 Maret 2019 | 18:10 WIB

Jakarta, NU Online

Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme kian marak dalam beberapa waktu terakhir. Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan bom bunuh diri di Sibolga, Sumatra Utara yang dilakukan seorang perempuan. Tahun lalu di Surabaya aksi pemboman keji juga melibatkan perempuan. Tahun sebelumnya, upaya pemboman dengan ‘Bom Panci’ di Jakarta juga dilakukan Perempuan.

Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden Republik Indonesia Sylvana Maria Apituley mengingatkan bahwa fenomena tersebut mengharuskan upaya pemberantasan aksi terorisme harus melibatkan cara pandang berbeda dengan sebelumnya yakni melibatkan unsur keadilan gender.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

“Terlibatnya perempuan menunjukkan adanya pola baru dalam aksi terorisme. Lensa gender digunakan untuk melakukan analisis. Oleh karena itu perlu untuk menginternalisasi perspektif gender dalam hal ini,” kata Sylvana Maria Apituley seminar publik bertajuk; ‘Radikalisme dan Ekstremisme di Asia; Pengalaman, Analisis dan Strategi untuk Mencegahnya’ yang digelar Organisasi Non-Pemerintahan INFID di Jakarta, Kamis (28/3).

Kekhawatiran ini senada dengan yang disampaikan akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Siti Musdah Mulia. Dari pengamatannya terhadap kelompok radikal Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) sejak tiga tahun terakhir, penggunaan kelompok perempuan semakin banyak dan efektif. Nampaknya, lanjut Musdah, cara ini diduplikasi dan dan dikembangkan di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

“Kaum perempuan itu kalau dicekokin dengan urusan agama itu paling cepat masuk. Lalu disebutkan hadistnya ‘Kalau laki-laki dapat surga dan ketemu bidadari di surga. Sementara kalau perempuan itu bisa membawa 70 keluarganya ke surga’. Pandangan-pandangan keagamaan yang sesat seperti itu tentunya memberikan kemudahan bagi perempuan. Apalagi kalau sudah ada istilah ‘Sami'na Wa Atho'na’ (Kami Mendengar dan Kami Taat), itu perempuan jauh lebih loyalitas ketimbang laki-laki,” kata Musdah di Jakarta, Selasa (19/3).

Selain itu menurutnya, perekrutan dan melibatkan perempuan dalam aksi terorisme dinilai lebih ‘murah’. Karena kelompok teroris itu memakai modus operandi dinikahi, dipacari dan sebagainya. “Kalau sudah seperti itu tentunya ‘habis’ dan kasihan kaum perempuan itu. Apalagi sejak kecil kaum perempuan lebih banyak di didik untuk mengembangkan emosinya, bukan mengembangkan intelektualitasnya. Tentunya hal tersebut juga menjadi problem bagi pendidikan di kita selama ini,” katanya lagi. (Ahmad Rozali)

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Terkait