Peneliti Kemenag Sebut Pencegahan Konflik Harus Dimulai dari Mengetahui Potensi Bahayanya
Ahad, 28 November 2021 | 14:00 WIB
Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kementerian Agama RI, Abdul Jamil Wahab saat acara Forum Group Discusion (FGD) Penyusunan RPMA Siaga Dini Konflik Paham Keagamaan Islam, di Hotel Arch Bogor, Jawa Barat, Sabtu (27/11/2021). (Foto: Anty Husnawati)
Bogor, NU Online
Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kementerian Agama RI, Abdul Jamil Wahab mengatakan, pencegahan konflik harus dimulai dari mengetahui potensi bahayanya (hazard potency).
"Misalnya dalam menghitung risiko bencana sebuah daerah, kita harus mengetahui bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity) di suatu wilayah berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya. Ini sebenarnya sama dengan cara kita membaca potensi konflik, baik itu yang sifatnya vertikal maupun horisontal," kata Jamil saat acara Forum Group Discusion (FGD) Penyusunan RPMA Siaga Dini Konflik Paham Keagamaan Islam, di Hotel Arch Bogor, Jawa Barat, Sabtu (27/11/2021).
Menurut Jamil, dilihat dari potensi konflik paham keagamaan yang ada, Indonesia merupakan negara dengan hazard yang tinggi dan beragam, baik berupa konflik ideologis maupun konflik yang terkait dengan faktor ekonomi, sosial, dan politik.
"Dalam risiko konflik keagamaan, kita perlu melihat pada aspek aliran paham yang berkembang, misalnya ada organisasi yang eksklusif intoleran di suatu daerah, maka bisa diasumsikan akan ada potensi konflik. Nah itulah pentingnya kenapa kita harus mampu membaca aspek ancaman atau hazard tadi," ungkapnya.
Penulis buku Manajemen Konflik Keagamaan itu mengatakan, salah satu aktor utama dalam deteksi dini risiko konflik ini adalah Penyuluh Agama Islam. "Penyuluh Agama harus bisa memetakan potensi hazard di wilayahnya masing-masing," katanya.
"Kalau kita menggunakan rumus bahwa hazard kali rintangan dibagi kapasitas, itulah resiko yang akan timbul dari sebuah konflik. Jadi tidak hanya hazard, atau hal-hal yang menyebabkan konflik saja, tetapi kerentanan dari masyarakat itu juga perlu di potret," jelas Jamil pada acara yang digelar Subdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Kemenag RI.
Pria yang juga mengemban amanah sebagai Direktur Riset dan Pengembangan LPBINU itu juga menjelaskan, dalam teori sebab akibat, misalnya di suatu daerah tidak ada lembaga yang peduli terhadap perdamaian, maka akibatnya masyarakat di daerah itu akan mudah tersulut konflik. Begitu pula jika tidak ada tokoh atau kader muda yang memiliki semangat kerukunan, maka masyarakatnya berpotensi perselisihan.
"Jadi kerentanan masyarakat itu juga perlu dipotret, termasuk misalnya kultur teologis. Masyarakat Indonesia yang beragam ini kadang perlu diklasifikasikan, misalnya masyarakat yang konservatif, inklusif, termasuk yang moderat. Saya yakin semua itu adalah bagian dari kerentanan," pungkasnya.
Kontributor: Anty Husnawati
Editor: Kendi Setiawan