Penelitian Kemenag Telusuri Arus Kontra Narasi Ektremisme di Media Daring
Jumat, 26 November 2021 | 08:00 WIB
Jakarta, NU Online
Salah satu hasil kemajuan teknologi informasi adalah berkembangnya media daring. Di era saat ini, media daring telah menjadi kebutuhan masyarakat. Apalagi, generasi milenial. Mereka tidak bisa lepas dari teknologi dan perangkat telepon pintar dalam keseharian.
Hal tersebut dikatakan Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Kementerian Agama RI, Abdul Jamil Wahab, dalam Seminar Hasil Penelitian Isu-isu Aktual Bimas Agama yang digelar di Jakarta, Kamis (25/11/2021) malam.
“Membaca berita dan cerita dari media sosial merupakan tren yang menjadi kebutuhan masyarakat pengguna media sosial saat ini,” kata Jamil dalam riset isu-isu aktual, studi kasus tentang pendirian rumah ibadat Gereja Katolik dan Kristen perspektif Moderasi Beragama, serta respons tokoh agama atas kontra narasi ektremisme di media online.
Jamil, demikian sapaan karibnya, menyayangkan bahwa perkembangan media daring saat ini seperti pedang bermata dua. Karena, selain memberi kontribusi kemajuan bagi peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif melakukan perbuatan melawan hukum.
“Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi, salah satunya adalah ujaran kebencian (hate speech), penyebaran konten berita bohong (hoaks), penyebaran paham ekstremisme kekerasan, hingga cyberterrorism,” terang aktivis LPBI PBNU ini.
Hal lain yang lebih menakutkan, kata dia, internet bisa menjadi lahan subur bagi segala ideologi teror sebagaimana yang dilakukan ISIS. Al-Hayat, sayap media ISIS, memproduksi konten media dengan nilai produksi yang sangat tinggi dalam bentuk video dan majalah daring.
“Dengan keefisienan daya jangkau dan ongkos yang sangat murah, mereka mengerahkan banyak tenaga untuk memfasilitasi terciptanya berbagai kamar gema yang mampu menjangkau berbagai individu rawan teradikalisasi,” terang doktor jebolan Institut PTIQ Jakarta ini.
Menurut Jamil, dunia internet telah digunakan untuk merilis manifesto, propaganda, dan statemen agitatif, menggalang dukungan dan penguatan jaringan, mengkomunikasikan antarjaringan, dan merekrut anggota baru.
“Fenomena tersebut, patut diwaspadai bahkan perlu dicegah, agar masyarakat tidak dipengaruhi oleh paham yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kebangsaan. Apalagi di Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak mengalami aksi terorisme,” tutur Pria asal Cirebon, Jawa Barat ini.
Atas dasar itu, tambah dia, tidak hanya sanksi dan penutupan situs media daring, masyarakat perlu dicerdaskan dalam menerima informasi dari media. Cerdas media adalah kemampuan tidak menerima begitu saja segala informasi yang tersebar melalui internet. Masyarakat diharap terus mempertanyakan secara kritis baik konten maupun validitas sumber informasi yang didapat.
“Melalui cerdas media, masyarakat akan memiliki kapasitas literasi media,” imbuh penulis buku Harmoni di Negeri Seribu Agama itu.
Penelitian dilakukan di beberapa kota di Jawa dan Sumatra. Asumsinya masyarakat di kota-kota ini banyak yang mengakses media daring. Kota-kota tersebut adalah: Serang, Tangerang, Tangerang Selatan, Bandung, Bogor, Cirebon, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Medan, Palembang, Padang, dan Lampung.
Dalam seminar hasil penelitian ini, dua narasumber memberi masukan dan tanggapan atas isu aktual di media daring, yakni Farhan Muntafa (LP3P Universitas Indonesia) dan Redaktur Pelaksana NU Online Mahbib Khoiron. Acara ini diagendakan tiga hari, Kamis-Sabtu, 25-27 November 2021.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori