Salah satu penelitian oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (BLA) Jakarta pada tahun 2019 adalah Eksplorasi dan Digitalisasi Naskah-Naskah Lampung. Para peneliti dalam laporannya mengungkapkan kajian diawali dengan penelusuran naskah-naskah Lampung yang ada di wilayah Provinsi Lampung. Dalam tahap penjajakan selama lima hari diperoleh informasi awal ada sejumlah titik yang diduga terdapat naskah, seperti Bandar Lampung, Kalianda, Pringsewu, dan Pesisir Barat.
Dalam tahap pengumpulan data peneliti menelusuri naskah di Lampung Selatan (Kalianda) ada tiga orang yang diagendakan untuk ditemui. Satu di antara ketiganya tidak bisa ditemui karena sedang ada urusan di luar kota. Satu orang di antara keduanya, yang semula berjanji akan mempertemukan peneliti dengan beberapa orang pemilik naskah, namun akhirnya gagal. Dan, satu orang yang tersisa mempunyai satu naskah namun dia tidak bersedia naskahnya untuk difoto seluruhnya. Hanya beberapa lipat saja yang diperbolehkan untuk difoto, peneliti memutuskan untuk tidak mengambilnya.
Di Tanjung Karang, para peneliti bertemu dengan seorang pegiat naskah, yaitu Arman AZ yang mempunyai beberapa foto naskah Lampung yang dia foto ketika ke Belanda pada tahun 2015. Arman memiliki tiga foto naskah Lampung yang ada di Perpustakaan Leiden (Belanda) antara lain Oendang -Oendang Adat Krui (kertas eropa aksara Jawi), Khutbah Idul Fitri (aksara Jawi), Cerita-cerita Rakyat (aksara Lampung).
Lampung dipilih sebagai locus dalam penelitian tersebut, mengingat naskah Lampung kurang populer. Padahal, di wilayah ini secara kuantitas tidak bisa juga diremehkan. Seperti diungkapkan Habib dkk, 'manuskrip-manuskrip (naskah kuno) minim sekali yang diketahui oleh publik manuskrip yang ada di wilayah Sumatera bagian selatan (Lampung, Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu). Memang sudah pernah ada Katalog Manuskrip yang berasal dari Sumatera bagian selatan, namun sangat minim para pemerhati melacak dan mendeteksi naskah-naskah tersebut. Akibatnya manuskrip-manuskrip tersebut tidak terekspos ke publik. Termasuk di dalamnya manuskrip Lampung.
Di samping hal tersebut, sikap orang Lampung yang tidak mau membuka naskahnya ke khalayak publik. Masyarakat Lampung masih banyak yang memperlakukan naskah kuno sebagai 'benda pusaka' yang mengandung 'mistifikasi', sehingga orang luar sulit mengaksesnya. (Habib dkk, 2019: 3-4).
Tidak diaksesnya naskah Lampung oleh para pemerhati naskah mungkin dikarenakan naskah-naskah Lampung banyak yang ditulis dengan menggunakan aksara Lampung (Kaganga), dan yang bisa membaca aksara ini terbilang tidak banyak. Jangankan orang luar Lampung, orang Lampung sendiri banyak yang tidak menguasai aksara tersebut.
Peneliti juga mengungkapkan, di Perpustakaan Nasional RI, menurut Didik salah seorang pegawai di sana, terbilang cukup banyak naskah Lampung yang belum bisa dideskripsikan isinya, selain deskripsi fisiknya. Naskah Lampung yang tidak dapat didiskripsikan itu naskah yang ditulis dengan huruf Kaganga. Naskah yang diperoleh Mahmudah dari Rajabasa dalam penelitian ini, ketika ditanyakan kepada pemiliknya terkait isinya, ia menjawab naskah tersebut berisi tentang pengobatan (jampi-jampi). Ternyata setelah dibaca oleh teman dari Balai Bahasa Lampung naskah itu bercerita tentang Hikayat Nabi Bercukur. Ini adalah fakta tidak banyak yang bisa membaca aksara Kaganga itu.
Para peneliti Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta dalam penelitian Eksplorasi dan Digitalisasi Naskah Lampung berhasil mendigital (foto) naskah tidak kurang dari 40 naskah. Jumlah tersebut jika dibanding dengan tingkat kesulitan memperolehnya bukan jumlah yang kecil, mengingat penelusuran yang dilakukan adalah naskah-naskah yang ada di masyarakat bukan yang ada di lembaga.
Provinsi Lampung dikenal dengan julukan Sai Bumi Ruwa Jurai, yang artinya satu bumi yang didiami oleh dua macam masyarakat (suku/etnis), yaitu masyarakat Pepadun dan Sai Batin (Danardana, 2008: 19). Masyarakat Pepadun adalah masyarakat yang mendiami bagian tengah dan pedalaman Lampung, seperti Tulangbawang (Migo Pak), Abung (Abung Siwo Migo), Sungkay-Way, Kanan, dan Pubian (Pubian Telu Suku), dan Buay Lima.
Masyarakat-masyarakat adat Pepadun ini sekarang banyak mendiami wilayah-wilayah Kabupaten Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, Way Kanan dan Mesuji. Sedangkan masyarakat Sai Batin adalah masyarakat yang mendiami daerah pesisir pantai, seperti wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Lampung Barat, Way Lima di Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Tanggamus dan Teluk Betung di Bandar Lampung (BPS Provinsi Lampung, 2001: xxxix; Hidayah, 2015: 205; Iswanto, 2016: 108).
Oleh karena itu, kajian eksplorasi dan digitalisasi naskah-naskah Lampung di Bandar Lampung, Kalianda-Lampung Selatan, dan Negararatu-Lampung Utara merupakan wilayah-wilayah yang menjadi representasi dari dua masyarakat adat yang ada di provinsi Lampung.
Perbedaan yang mendasar dari dua masyarakat adat tersebut adalah mengenai status dan gelar seorang pemimpin/raja adat. Bagi adat Sai Batin, dalam generasi (masa/periode) kepemimpinan hanya mengenal satu orang raja adat yang bergelar sultan (suttan). Hal itu sesuai dengan istilahnya yaitu Sai Batin (satu orang junjungan). Seorang Sai Batin adalah seorang sultan berdasarkan garis lurus sejak zaman keratuan di Lampung dahulu kala.
Adapun dalam kelompok masyarakat Pepadun (Singgasana) dikenal kepala-kepala adat yang disebut dengan Punyimbang dengan gelar sultan (suttan). Namun sultan ini juga dapat memberikan gelar sultan kepada siapa saja dalam masyarakat adat asalkan dapat memenuhi syarat-syarat dalam pesta adat cakak pepadun (naik tahta/singgasana).
Mengacu pada istilah lain dalam disiplin sosiologi (Iswanto, 2016: 108) dalam kajiannya menyebutkan bahwa posisi raja adat dalam masyarakat adat Sai Batin adalah sebuah status yang diwariskan (ascribed status), sedangkan raja adat dalam masyarakat adat Pepadun adalah status yang dinilai dan diukur pada kemampuan dalam kontrak sosial dalam sidang adat.
Editor: Kendi Setiawan