Jakarta, NU Online
Ketua Umum Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) PBNU KH Abdul Ghaffar Rozin meminta pemerintah untuk tidak pandang bulu dalam menerapkan berbagai kebijakan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang saat ini diberlakukan di Pulau Jawa, juga harus dilakukan serius, tegas, dan konsisten dalam penerapannya.
“Tidak pandang bulu ini ketika masjid diminta untuk berhenti, maka kegiatan-kegiatan masal yang lain juga diminta berhenti,” kata Gus Rozin di Jakarta, Selasa (30/6).
Gus Rozin menegaskan bahwa tidak ada gunanya ekonomi kita berjalan. Namun, di sisi lain kesehatan dan jiwa manusia terancam sehingga akan kehilangan banyak lagi orang-orang yang kita cintai dan sayangi.
Sejak awal pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020 sampai dengan 30 Juni 2021, data RMI menunjukkan sebanyak 541 ulama Nahdlatul Ulama meninggal dunia. Tingkat wafatnya para ulama ini menurut Gus Rozin lebih tinggi dari wafatnya para dokter. Ini merupakan jumlah yang sangat banyak sekali dan menjadi kesedihan tersendiri bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.
“Mautul alim, mautul alam (meninggalnya alim, 1 orang, merupakan tanda kematian alam), apalagi mautul ulama (meninggalnya banyak ulama),” Gus Rozin mengingatkan dalam pernyataannya yang disiarkan TVNU.
Dengan kondisi ini, RMI pun meminta kepada para kiai dan ibu nyai, para Gus dan Ning (putra-putri kiai), dan pengasuh pondok pesantren untuk terus berikhtiar secara maksimal menghadapi kondisi sulit ini dengan menerapkan protokol kesehatan. Bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk para santri dan jamaahnya.
RMI juga meminta para kiai untuk sementara waktu mengurangi mobilitas dengan tidak menghadiri acara-acara yang mengumpulkan massa banyak. Para santri, alumni, dan jamaah juga diminta untuk tidak mengundang para kiai hadir pada acara massal.
“Anugerah dan doa para kiai itu tidak harus diwakili dengan kehadiran beliau-beliau. Anugerah dan doa para kiai itu bisa hadir walaupun beliau ada di rumah masing-masing,” ujarnya.
Gus Rozin menambahkan bahwa manusia itu tahu dan merasakan takdir Allah ketika takdir itu sudah datang. Sebelum takdir itu datang, maka kewajiban manusia adalah berikhtiar atau berusaha. Ikhtiar ini kemudian lanjut Gus Rozin, diserahkan pada Allah SWT sebagai penentu segalanya.
“Wurudul imdad bihasbil isti`daad (Pertolongan Allah itu tergantung kepada kesiapan kita menerima pertolongan tersebut),” katanya mengutip maqalah Ibnu Athaillah Assakandari.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan