Depok, NU Online
Hari Raya Imlek 2570 yang akan dirayakan Selasa (5/2) di berbagai tempat di Indonesia tidak bisa lepas dari sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada masa pemerintahannya yang pendek, berbagai kebijakan dilakukan Gus Dur untuk mengangkat harkat kemanusiaan dan kesetaraan hak warga negara.
Salah satu terobosan yang dilakukan adalah menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000. Setelah 33 tahun masyarakat Tionghoa hanya boleh merayakannya secara tertutup dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, mereka akhirnya bisa kembali menjalankan ritual kebudayaannya secara terbuka.
Ada pertimbangan khusus yang menjadi alasan Gus Dur menetapkan dan mengakui Hari Raya Imlek tersebut. Abdul Aziz Wahid, peneliti Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities (AWCPH) Universitas Indonesia. Ia menilai bahwa maqasid syariah (tujuan diterapkannya syariat) menjadi pertimbangan utama Gus Dur dalam membolehkan kembali perayaan Imlek secara terbuka dan menetapkannya sebagai hari libur nasional.
“Gus Dur dari dulu lebih mengedepankan segi kemanusiaannya, bukan hanya semata segi formalistis kaidah-kaidah keagamaan Islamnya saja, kaidah fiqihnya saja. Maqasidus syariahnya dikedepankan,” kata Gus Aziz, sapaan akrabnya, saat diskusi mingguan AWCPH Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, Ahad (3/2).
Di samping itu, Gus Dur juga, kata dia, melihat hubungan historis masyarakat Cina dengan Nusantara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang panjang. Kontribusi masyarakat Tionghoa di bidang ekonomi, keuangan, dan perdagangan, menurutnya, juga cukup besar.
“Itu diperhitungkan oleh beliau dan kemudian dijadikan hari libur nasional,” ujarnya.
Terlebih, Gus Dur ketika menjadi presiden banyak mendengar aspirasi dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Ditambah, Gus Dur pun masih memiliki darah Tionghoa. “Secara historis, menurut silsilah yang dirunut oleh Gus Dur sendiri, yang lisan maupun tertulis beliau urut-urutannya masih ke sana juga, masih ada garis keturunan Tionghoanya juga,” jelas pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor itu.
Hari Raya Imlek dampaknya cukup luas, tidak hanya pada warga keturunan Tionghoa, kata Gus Aziz, melainkan juga bagi industri pariwisata dan industri ritel, yang dapat mengedepankan promosi-promosi tematik hari libur beragama.
Tapi sebetulnya, lanjut keponakan Gus Dur itu, bukan ke situ tujuannya mengambil kebijakan itu. Menurutnya, hal itu merupakan efek lanjut saja. “Kalau terhadap orang (keturunan) Tionghoanya sendiri, agar merasa lebih diakui, dan merasa lebih menjadi bagian dari masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Bukan tidak mungkin kalau Gus Dur juga mengetahui bahwa dalam bagian Penjelasan dari Pasal 1, pada Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965, sudah pernah disebutkan secara eksplisit:
“bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu (Confusianism).
Bahkan paragraf berikutnya dalam penjelasan tersebut menegaskan:
“ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarazustrian (zoroaster), Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan sepenuhnya seperti yang diberikan sepenuhnya oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dan mereka dibiarkan adanya, asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau dalam peraturan perundangan lain.”
Sementara itu, Ketua AWCPH UI Ahmad Syafiq melihat perayaan Imlek sebagai hari libur itu dibarengi dengan dimasukkannya agama Konghucu sebagai agama yang diakui oleh negara. Menurutnya, hal itu merupakan terobosan sosiologis. “Terobosan sosial yang sangat penting dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia,” ujar dosen UI itu.
Melihat sejarahnya, Hunaifi Mas'oed, peneliti AWCPH UI, menjelaskan bahwa perayaan Imlek menjadi penting sebagai antitesis dari kebijakan pemerintahan Orde Baru yang melakukan diskriminasi dengan adanya Inpres Nomor 14 tahun 1967 yang mengeksklusi komunitas Tionghoa di Indonesia.
“Asbabun nuzulnya untuk memupus diskriminasi yang dialami warga Tionghoa setelah sekian lamanya, terutama di bawah pemerintahan Soeharto,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hunaifi mengungkapkan bahwa diskriminasi yang diterima etnis Tionghoa pada masa Orde Baru adalah dengan tidak boleh menampilkan identitas komunal mereka di muka umum dan mempunyai surat kependudukan yang ditandai tersendiri bagi mereka yang berdarah Tionghoa yang harus mereka urus secara berkala di kelurahan.
“Itu yang coba dihapus oleh Gus Dur, diskriminasi-diskriminasi itu,” jelasnya pada diskusi tentang Gus Dur dan Imlek itu.
Dengan adanya kebijakan Gus Dur itu, Mauritz, peneliti AWCPH UI, melihat orang Tionghoa lebih terbuka untuk merayakan ritual keagamaan dan kulturalnya. Sebelumnya, mereka lebih takut, bahkan masyarakat lain yang juga melakukan ritual kultural lainnya sebab ada kekhawatiran tuduhan komunis.
“Memberi perlindungan bagi kelompok lain yang merayakan ritual kulturalnya,” ungkapnya.
Sejalan dengan Mauritz, Toni Doludea lebih jauh melihat kebijakan Gus Dur itu membuka lebar perdamaian dan kemanusiaan. Sebab, lanjutnya, Gus Dur mengajak masyarakat Indonesia merangkul kembali saudara yang selama ini dipinggirkan. Pasalnya, tidak sedikit nenek moyang bangsa Indonesia dari ras Tionghoa. Walisongo, misalnya, dan istri raja-raja di Solo dan Yogyakarta juga ada darah Tionghoanya.
“Sebenarnya Gus Dur sangat manusiawi sekali ingin mengajak kita untuk berdamai dan saling berangkulan lagi,” pungkasnya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)