Nasional

Penggunaan Gawai Berlebihan Datangkan Pengaruh Buruk bagi Anak

Selasa, 23 Juli 2019 | 08:30 WIB

Penggunaan Gawai Berlebihan Datangkan Pengaruh Buruk bagi Anak

Ilustrasi anak dan gadget (via intisari.grid.id)

Jakarta, NU Online
Anak-anak sekarang atau yang tergolong pada generasi Alfa, kelahiran 2010 dan seterusnya, disebut juga sebagai masyarakat asli digital. Pasalnya, semenjak lahir, mereka langsung dihadapkan dengan dunia digital yang sudah begitu berkembang.

Tak ayal ada 98 persen orangtua di wilayah Asia Tenggara secara umum yang mengizinkan anaknya menggunakan gawai (gadget). Hal tersebut berdasarkan riset yang dilakukan oleh The Asianparent Inside pada tahun 2014. Kebolehan tersebut tentu disebabkan berbagai hal, seperti kepentingan pendidikan, hiburan, hingga pengenalan dini terhadap teknologi.

Di Indonesia, menurut penelitian tersebut, terdapat 74 persen orangtua terdorong untuk mengizinkan anak-anaknya menggunakan gawai demi pendidikan. Sementara yang bertujuan untuk menghibur anak-anaknya, ada 60 persen jumlahnya. Ada pula orangtua yang bertujuan agar anaknya dapat diam dengan gawai tersebut. Mereka berjumlah 41 persen.

Gawai dapat berpengaruh buruk pada kondisi fisik dan psikis anak. Secara fisik, Asianparent Indonesia setidaknya mencatat empat hal buruk yang diakibatkan dari penggunaan gawai berlebihan.
 
Pertama, mengganggu mata karena lelah hingga berakibat miopi akibat dari lamanya menatap layar gawai. Kedua, gawai dapat mengakibatkan anak-anak kurang fokus dan kurang tidur sehingga berefek pada situasi belajar mereka di sekolah karena mengantuk. 

Bahkan hal tersebut juga berdampak buruk pada kesehatannya karena malam kurang tidur, sementara siangnya mengantuk. Ketiga, menghambat kemampuan anak berbicara karena seringnya menatap layar ponsel pintar ketimbang interaksi dengan orang lain. Terakhir, persoalan fisik lain seperti meningkatnya berat badan akibat kurangnya gerak, insomnia, sakit kepala, nutrisi yang buruk, hingga masalah penglihatan.

Adapun dampak negatif terhadap kesehatan psikisnya juga tak kalah membahayakannya. Pertama, gawai berpengaruh pada perubahan perilaku hingga depresi. Gawai juga dapat memungkinkan anak lebih agresif dan mudah tersinggung jika orangtua tidak mengizinkan mereka menggunakan gawainya.

Padahal, kemampuan untuk menahan diri, berpikir, dan mengendalikan emosi merupakan keterampilan dasar untuk kesuksesannya di masa depan. Bahkan, gawai dapat meningkatkan risiko ADHD dan autisme pada anak, selain persoalan mental lainnya, seperti kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan isolasi diri.

Di samping itu, Cris Rowan, seorang terapis pediatrik, mengungkapkan bahwa gawai juga dapat berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan otak anak. Pasalnya, perkembangan otak anak dapat lebih cepat dipengaruhi dengan stimulasi lingkungan.

Jika stimulasi dilakukan melalui gawai secara berlebih dapat mengakibatkan keterlambatan kognitif, perhatian yang berkurang, gangguan dalam belajar, meningkatkan sifat impulsif, hingga mengurangi kemandirian anak. Kurangnya perhatian atau fokus mereka itu disebabkan karena cepatnya konten.

Cris juga mencatat bahwa gawai dapat menimbulkan sifat adiksi, kecanduan. Pasalnya, hal itu menjadi salah satu pelarian dari perhatian orangtua mereka guna mendapatkan hiburan sehingga menjadi candu bagi mereka karena dilakukan terus-menerus.

Gawai juga, lanjutnya, mengutip World Health Organization (WHO), termasuk dalam kategori 2B, menyebabkan kanker karena emisi radiasi yang dihasilkannya. Terlebih bagi anak yang sistem imunitasnya masih berkembang, hal tersebut sangatlah sensitif.

Batasi dan Alihkan

Melihat fakta tersebut di atas, para orangtua sebetulnya harus waspada mengingat bahayanya teknologi bagi anak-anak. Untuk meminimalisasi hal tersebut, orangtua perlu mencoba mengenalkan hal lain selain permainan, video, atau situs pencarian. Seni digital, misalnya. Anak-anak dapat diarahkan untuk membuat rupa-rupa kesenian berbasis digital, baik itu editing foto, membuat video, dan sebagainya.

Akademi Pediatriks Amerika, sebagaimana diungkapkan situs parentology.com, mengungkapkan bahwa anak-anak balita sebaiknya maksimal hanya sampai satu jam saja dalam sehari untuk kontak dengan layar gawai.

Pembatasan waktu kontak dengan layar sangat penting karena anak-anak butuh interaksi sosial dan bermain paralel untuk masuk pada pembelajaran tentang kegigihan tugas, pengendalian rangsangan atau gerak hati yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan, regulasi emosional, dan paling penting adalah petunjuk interaksi dan pembelajaran sosial. Mereka akan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari pembelajaran ibu dan sendirinya, kelas musik, dan permainan paralel terbuka lainnya.

Hal penting yang kerap kali abai adalah anak-anak kerap kali melakukan multitasking media. Artinya, saat dia menonton televisi atau makan, mereka juga mengetik pesan teks di ponselnya. Hal tersebut, menurut sebuah penelitian cukup rentan berefek negatif terhadap orang-orang.
 
Mengutip riset Institut A&M Texas untuk Neuroscience terhadap 526 mahasiswa, para penulis menyimpulkan bahwa semakin banyak media yang melakukan multitask, semakin buruk kemampuan kognitif yang mereka perintahkan.

Nafeh, terapis keluarga, mengungkapkan bahwa multitask sangat mempengaruhi area di otak yang kita gunakan untuk terhubung secara emosional dengan orang-orang. Sebagai contoh, banyak orang tua membiarkan anak-anak mereka menghibur diri mereka sendiri dengan media sosial atau permainan daripada menghabiskan waktu untuk berhubungan dan berkomunikasi secara efektif dengan mereka.

Kepuasa instan yang mereka dapat dari perangkat digital membuat mereka lebih suka menghabiskan waktu di ponsel, iPad, atau TV mereka daripada menjalin komunikasi dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya.
 
Secara umum, lanjutnya, multitasking media berkorelasi dengan kemampuan kognitif yang lebih rendah, impulsif, dan kurangnya keterampilan sosial. Jadi, selain lebih terhubung dengan apa yang mungkin ditonton anak-anak, mungkin ada alasan bagi semua orang untuk menghentikan multitasking di rumah juga. (Syakir NF/Fathoni)