Jakarta, NU Online
Pengurus Syuriyah PWNU Jawa Timur, Prof Dr KH Ali Mascan Moesa, mencatat pengikut paham radikal di Indonesia saat ini mencapai 10 juta orang.
"Hasil riset menunjukkan empat persen penduduk Indonesia atau sekitar 10 juta orang sekarang memiliki pemahaman radikal," katanya, di Surabaya, Selasa.
Dia menjelaskan penelitian yang dilakukan menunjukkan hubungan agama dan negara menentukan kekerasan atas nama agama.
"Kalau hubungan agama dan negara terlalu dekat maka ada dua dampak yakni agama dijadikan alat atau terjadi radikalisasi agama, tapi kalau terlalu jauh akan terjadi sekulerisasi dan liberalisasi," katanya.
Menurut mantan anggota DPR itu, liberalisasi yang menjauhkan negara dari agama justru mendorong negara menjadi bangkrut akibat banyak masyarakat terlalu rasional dan stres.
"Solusi terbaik itu kembali pada cara Nabi Muhammad SAW yang lembut atau moderat dalam memadukan antara agama dan negara dengan mengedepankan akhlak dan akidah daripada fiqih dalam bernegara. Saya kira, cara ini perlu diterapkan pemerintah melalui kerja sama dengan para tokoh agama," katanya.
Ia mencontohkan nabi pernah hendak dibunuh. "Kalau menggunakan fiqih, maka orang yang hendak membunuh nabi itu harus dibunuh.
Tapi nabi melawan kekerasan dengan akhlak, bukan fiqih, sehingga orang itu memeluk Islam, bahkan satu suku masuk Islam," katanya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr H Sahid HM, menegaskan, adikalisasi dalam Islam mulai terjadi saat kepemimpinan Usman bin Affan, akibat konflik politik, karena banyak masyarakat yang tidak setuju dengan mutasi yang dilakukan Usman terhadap Saad bin Abi Waqash.
"Ada empat tokoh masyarakat yang tidak setuju tapi tanpa kekerasan, di antaranya Salman Alfarisi, namun ada 2.000 orang yang mengedepankan fiqih dengan membenturkan agama dengan politik, sehingga mereka menyatakan Usman harus dibunuh, karena tidak menggunakan hukum Islam," katanya.
Akhirnya, terbunuhnya Usman melahirkan tiga kubu yakni kubu Syiah yang pro-Ali bin Abi Thalib dan kubu Muawiyah yang anti-Ali bin Abi Thalib (Sunni), lalu muncul kubu Khawarij dari kubu Ali bin Abi Thalib tapi tidak setuju dengan Ali.
Dari kubu Khawarij inilah yang melakukan "takfiri" atau mengafirkan mayoritas Muslim itu berdosa besar, karena tidak berpedoman pada hukum Islam.
"Pola radikalisme itu muncul juga pada era modern dan kontemporer," katanya.
Pada era modern muncul di Arab Saudi yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab pada 1703 atau dikenal dengan kelompok Wahabi yang memurnikan Islam dengan melawan bidah, khurafat, dan tahayul. Wahabi menghancurkan seluruh makam di Tanah Arab.
"Cara-cara itu melahirkan Komite Hijaz di Indonesia yang meminta pemerintah Saudi Arabia agar makam Rasulullah tidak dihancurkan sebagai bagian dari sejarah Islam. Komite Hijaz itulah yang mendorong lahirnya NU," katanya.
Pada era kontemporer, radikalisme muncul sebagai reaksi atas modernisme nilai-nilai Barat dalam sosial, budaya, politik, dan ekonomi, sehingga lahir Ikhwanul Muslimin di Mesir pada 1928.
"Arahnya atau targetnya untuk membentuk negara Islam dengan empat ciri yakni melawan atau menggunakan kekerasan, dan menolak hermeneutika atau pemahaman Al-Qur’an secara kontekstual," katanya.
Ciri lain, menolak pluralisme atau pemahaman terhadap non-Islam secara kemanusiaan yang dianggap merusak akidah, dan menolak Islam secara sosiologis seperti Islam Nusantara yang dianggap mendegradasi Islam.
"Bentuknya bisa gerakan politik seperti Wahabi atau Ikhwanul Muslimin, atau bisa gerakan dakwah seperti Hizbuth Tahrir yang bisa bermetamorfose menjadi PKS, FPI, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin, tapi targetnya sama, yakni Negara Islam," katanya. (Antara/Mukafi Niam)