Penjelasan Gus Mus tentang Hadits 'Cinta pada yang Dicintai Orang Lain'
Sabtu, 17 September 2022 | 10:30 WIB
Tangkap layar Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Musthofa Bisri (Gus Mus) saat mengisi kajian pada video YouTube NU Online.
Jakarta, NU Online
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dari Annas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: "Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba liakhihi maa yukhibbu linafsihi." Artinya, "Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri."
Menurut Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Musthofa Bisri, hadits ini sangat terkenal dan viral. Namun sayangnya banyak yang memaknainya secara tidak tepat. Banyak yang mengartikan hadits ini dengan, "Seseorang di antara kamu tidak benar-benar beriman, sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri."
Padahal, sesuai dengan redaksi, hadits ini bermakna bahwa tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai sesuatu untuk saudaramu sebagaimana kamu mencintai sesuatu untuk dirimu.
"Contoh yang mudah. Saudaramu membuka warung (kemudian) laris. Kamu suka apa nggak? Tanya kepada dirimu," jelasnya dalam Kajian Kitab Jawahirul Bukhari yang diunggah Kanal Youtube NU Online, Sabtu (17/9/2022).
Agar masuk dalam golongan orang yang sempurna imannya, maka ketika saudara kita bahagia dengan apa yang ia rasakan, maka kita juga harus ikut bahagia. Sehingga Gus Mus pun mengkritik orang-orang yang berebut mencium Hajar Aswad sampai rela menyakiti orang lain dengan menyikut dan menginjak-injaknya saat berusaha mencium Hajar Aswad.
"Kalau aku sudah senang bisa mencium Hajar Aswad, aku seneng juga kalau saudaraku (bisa) mencium Hajar Aswad. Silakan cium. Aku sudah senang melihat kamu bisa mencium Hajar Aswad," tegasnya.
Oleh karenanya, sikap egois dalam diri harus dihilangkan sehingga kita tidak akan selalu melihat kesalahan orang lain dan sebaliknya bisa introspeksi diri dengan melihat kesalahan diri sendiri.
Pentingnya Ilmu Nahwu dalam memahami Ilmu Agama
Kesalahan dalam memahami hadits ini menurut Gus Mus bisa jadi karena kurangnya pemahaman dan penguasaan Ilmu Nahwu. Dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits memang sangat penting menguasai Ilmu Nahwu atau ilmu gramatika Bahasa Arab. Hal ini agar dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi bisa seuai dengan teks dan konteksnya.
"Kalau tidak (paham Ilmu Nahwu) bisa keliru," Gus Mus mengingatkan.
Dalam artikel NU Online berjudul Urgensi Ilmu Nahwu dalam Penurunan Wacana Publik Keislaman ditegaskan bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh Nahwu adalah kebenaran yang sangat tinggi derajatnya. Hal ini karena dengan ilmu nahwu pemaknaan pertama atas sumber-sumber Islam, Al-Qur’an dan Sunnah, bisa didapatkan.
Meskipun sekolah-sekolah Islam juga mengajarkan Nahwu, namun ilmu ini diajarkan secara lebih mendalam ada di dalam lingkungan pesantren. Itu pun masing-masing pesantren melakukannya secara berbeda-beda pula.
Pesantren-pesantren tradisional (salaf) biasanya mengajarkan kitab-kitab Nahwu yang tingkatannya lebih rumit dan sulit dibandingkan dengan pesantren-pesantren modern (khalaf). Kitab-kitab nahwu yang diajarkan di pesantren tradisional misalnya mulai dari al-Jurūmiyyah, Imriṭī, lalu Alfiyyah Ibn Mālik. Sementara pesantren modern biasanya mengajarkan kitab-kitab seperti Nahwu al-Wāḍiḥ, Jāmiʿu al-Durūs fī al-Lughat al-ʿArabiyya, dan lain-lainnya.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan