Jakarta, NU Online
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan ada 3,9 persen balita di seluruh Indonesia terkena gizi buruk dan 13,8 persen lainnya terkena gizi kurang. Persebaran terbanyak ada di wilayah Nusa Tenggara Timur yang mencapai 29,5 persen. Di bawahnya secara berurutan ada Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Barat.
Pakar Gizi Universitas Indonesia, Ahmad Syafiq, melihat bahwa persoalan gizi bukan cuma persoalan pemerintah, tetapi persoalan bersama, termasuk organisasi masyarakat.
“Masalah gizi itu bukan hanya masalah pemerintah, tetapi tanggung jawab semua, termasuk organisasi kemasyarakatan,” katanya kepada NU Online saat ditemui di Pojok Gus Dur, Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lantai 1, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Selasa (30/1).
NU, menurutnya, dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam hal ini juga harus bertanggung jawab guna berupaya perbaikan gizi masyarakat.
“NU bisa berperan masalah gizi di masyarakat dengan berbagai cara, termasuk dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam bidang gizi, termasuk dengan membangun ketahanan pangan keluarga,” terang Ketua Abdurrahman Wahid Center of Peace and Humanities (AWCPH) Universitas Indonesia itu.
Akademisi asal Buntet Pesantren itu menjelaskan bahwa secara sederhana persoalan gizi disebabkan oleh dua hal utama, yaitu kurang konsumsi dan frekuensi penyakit yang sering.
“Jadi sering sakit dan kurang makan, itu bahasa paling sederhananya,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia melihat NU bisa berperan membantu supaya kesenjangan dan kekurangan ini dapat diatasi dengan baik, mencakup segi konsumsi dan segi penyakit.
Di samping itu, penyebab lain kurangnya gizi balita di sana juga karena faktor sosial ekonomi, serta pola pengasuhan yang juga kurang. “ Di bawahnya ada persoalan lain, masalah pola asuh dalam keluarga dalam hal ini terkait dengan aspek sosial ekonomi,” pungkasnya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)