Pergunu Tolak Penghapusan Tunjangan Profesi Guru di RUU Sisdiknas
Jumat, 23 September 2022 | 07:05 WIB
Sejumlah pengurus Pergunu dalam Rapat Dengar Pergunu Pandangan Umum (RDPU) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi X. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Ahmad Zuhri menyesalkan draf Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang menghapuskan pasal tentang Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Hal ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pandangan Umum (RDPU) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi X, Kamis (22/09/2022).
"Jika ada upaya penghapusan skema Tunjangan Profesi Guru yang telah diatur dalam UU Guru dan Dosen sebelumnya. Berarti itu sama saja dengan upaya memiskinkan guru, dengan demikian secara tegas Pergunu menolak wacana tersebut," jelasnya.
Ahmad Zuhri menjelaskan dalam draf RUU Sisdiknas tepatnya di Pasal 105 huruf a-h yang memuat hak guru atau pendidik, tidak satu pun ditemukan klausul 'hak guru mendapatkan Tunjang Profesi Guru'. Pasal ini hanya memuat klausul 'hak penghasilan atau pengupahan dan jaminan sosial.
Hal tersebut bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam UU Guru dan Dosen pemerintah secara eksplisit mencantumkan pasal mengenai TPG, yakni pasal 16 ayat satu, dua, dan tiga.
"Guru dan dosen harus dilindungi dan diperlakukan secara khusus sebagai profesi yang mulia dan memiliki keuniusus (keunikan). Asas penafsiran hukum menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)," tegasnya.
Menurut Zuhri, sejak lahirnya Pergunu pada tahun 1952 di Surabaya, Nahdlatul Ulama secara umum dan Pergunu sebagai badan otonomnya selalu mengupayakan kesejahteraan dan kemuliaan bagi profesi guru. Salah satunya melalui upaya peningkatan kesejahteraan bagi guru.
Sejarah mencatat bahwa kemiskinan yang dialami guru adalah sumber ketertinggalan dunia pendidikan dan kehancuran sebuah bangsa. Maka pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sangat konsen dengan peningkatan kesejahteraan guru.
"Kami kira begitulah harusnya cara pemerintah berterima kasih kepada peran dan fungsi guru dan dosen. Kami berharap kesejahteraan guru tidak menjadi 'kambing hitam' atas ketidakmampuan anggaran negara," imbuh Zuhri.
Bagi Zuhri, jika alasan pemerintah ada kendala pemerataan kesejahteraan yang masih timpang antara guru yang sudah tersertifikasi dan yang belum, bukan berarti harus meniadakan yang selama ini sudah baik.
Pemerintah harus transparan dan jujur kepada masyarakat bagaimana penyaluran peruntukan APBN 20% untuk pendidikan. RUU Sisdiknas harusnya memastikan 20% APBN untuk kesejahteraan guru. Ini harus masuk dalam draf RUU Sisdiknas. Karena itu, kami tetap mendorong RUU Sisdiknas segera dibahas oleh DPR.
"Guru memiliki tugas mulia, mendedikasikan diri pada bangsa dan negara. Mereka harus terjamin atas kesejahteraannya. Sungguh tidak dapat terbayangkan jika generasi mudanya tidak ada yang berminat menjadi guru karena status kesejahteraannya dicabut pemerintah," ujarnya.
Menanggapi masukan dari Pergunu, Pimpinan Komisi X DPR RI Saiful Huda menegaskan bahwa DPR akan segera bahas RUU Sisdiknas, anggaran 20 persen pendidikan dari APBN untuk kesejahteraan guru.
Baginya sudah seharusnya anggaran tersebut ikut mensejahterakan guru. Masalah ini penting untuk ditindaklanjuti, kesejahteraan guru sudah semestinya diwujudkan pemerintah demi Indonesia yang lebih unggul.
"Kami mendukung anggaran 20 persen pendidikan untuk kesejahteraan guru. Karena itu bagian dari amanat yang harus dilaksanakan," tandasnya.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin