Jakarta, NU Online
Ketua Bidang Perekonomian Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Sumantri Suwarno menyayangkan belum tumbuhnya jiwa entrepreneurship (kewirausahaan) di kalangan pesantren secara maksimal. Padahal hal itu penting agar lulusan pesantren tidak hanya paripurna dalam bidang spiritual, tapi juga ekonomi.
“Kulturnya tidak menciptakan enterpreneur. Tidak berpikir mencari dan menciptakan lapangan kerja. Ada, tapi kecenderungan pribadi. Ada santri NU yang sukses bisnis. Tapi kalau komunitas, belum,” katanya kepada NU Online, Kamis (18/10).
Untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan, menurut dia, pesantren harus menyiapkan paradigma baru melalui kurikulumnya yang memuat tentang hal itu. Kemudian kerja sama dengan beragam pihak untuk mempraktikkannya.
Misalnya dengan menekankan bahwa berniaga sebagai parameter kesuksesan hidup. Tidak hanya akhirat. Dicari kitabnya, dipelajari bersama untuk membangkitkan para santri.
“Kisah dan teladan para ulama besar yang memiliki kegiatan berniaga harus diberi porsi yang lebih,” pintanya.
Dengan cara seperti itu, ia berharap para santri setelah keluar dari pesantren menjadi orang-orang yang paripurna di masyarakat. Mereka menjadi umat yang paripurna spiritual dan memiliki kapasitas tangguh dalam ekonomi.
“Dunia dan akhiratnya terpenuhi,” lanjutnya.
Dengan kapasitas santri semacam itu, untuk perjuangan dakwah Islam akan lebih mudah. Termasuk dalam menggerakkan organisasi dan khidmah umat. Kalau hanya dikuasai salah satunya akan timpang.
Sebetulnya, pesantren adalah kalangan yang mengetahui sejarah Islam. Terutama sejarah Nabi Muhammad yang sejak masa muda merupakan seorang pedagang yang sukses. Di dalam sejarah NU juga, sebelum berdiri, dimulai dengan pembentukan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar).
Namun, ia lagi-lagi menyayangkan, gerakan tersebut tidak berlanjut menjadi arus utama dalam gerakan NU dan para santri hingga hari ini. (Abdullah Alawi)