Pesan Gus Yahya kepada Santri: Tata Hati Harapkan Ridha Allah
Selasa, 31 Mei 2022 | 19:00 WIB
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) berpesan kepada santri untuk menata hati harapkan ridha Allah swt. (Foto: tangkapan layar Almunawwir TV).
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan pesan kepada santri. Ia menegaskan bahwa hal pertama yang harus dilakukan santri dalam belajar adalah menata hati.
“Kalian harus menata hati di dalam belajar itu bahwa kalian melakukan ikhtiar belajar semata-mata untuk mengharapkan mardhatillah (ridha Allah). Itu saja dulu,” ungkap Gus Yahya, sebagaimana dikutip NU Online dari Kanal Youtube Almunawwir TV, Selasa (31/5/2022).
Sebab, lanjut Gus Yahya, setiap orang memiliki maqam atau tingkatan masing-masing. Disebutkan, ada maqam ‘alim, muta’alim, dan wali. Setiap maqam ini memiliki afdhalul amal atau keutamaan yang berbeda-beda.
“Afdhalul amal untuk ‘alim (yaitu) ta’lim. Afdhalul amal untuk muta’alim seperti santri adalah ta’allum. Ta’alum itu tidak boleh ada motivasi selain libtighoi mardhatillah (mengharap ridha Allah). Karena selain itu, haram. Kalian kan kalau ngaji supaya nanti laku jadi pengurus NU itu haram. Itu tidak boleh ada motivasi selain mardhatillah,” jelasnya.
Gus Yahya menjamin, apabila santri sudah mampu menata hati untuk mengharapkan ridha Allah itu maka pada saatnya nanti akan ada manzilah atau kedudukan yang disediakan oleh Allah. Manzilah ini pun, kelak harus dilaksanakan dengan ikhlas dan penuh dedikasi untuk berkhidmah.
Sebagai contoh, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah ini mengaku tidak pernah memiliki cita-cita untuk menjadi pengurus NU. Bahkan menjadi Dewan Pertimbangan Presiden 2018-2019 dan Juru Bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
“Saya cuma ngalap berkah. Bahwa kemudian ada manzilah ini-itu ya kita terima sebagai tanggung jawab yang dibebankan kepada kita. Kita laksanakan sekuat-kuatnya,” ucap Gus Yahya.
Ia berpesan kepada santri, bahwa kelak mereka akan menghadapi realitas yang mungkin saja belum pernah terbayangkan pada hari ini.
“Saya ini dari generasi antara, generasi yang hilang. Karena antara baby boomers dengan milenial, ini generasi yang tidak jelas. Tapi saya menyaksikan peralihan, dari era pra milenial ke pasca milenial,” tuturnya.
Gus Yahya mengaku telah menyaksikan berbagai kenyataan hari ini yang sejak dulu sama sekali tak pernah terbayangkan. Semua yang dirasakan hari ini, terjadi secara tiba-tiba. Tidak ada satu pun orang yang meramal.
“Mungkin kalian di masa depan akan menemui realitas-realitas baru yang sekarang belum dibayangkan. Apakah kalian bisa merespons dengan baik atau tidak? Itu tergantung futuh minallah (terbukanya hati dan pikiran dari Allah). Kita berharap futuh minallah,” jelasnya.
Sebab jika dilihat dari perjalanan sejarah, banyak kiai yang secara tiba-tiba mampu menghadirkan jawaban bagi pertanyaan sejarah. Jawaban-jawaban itu diberikan secara tidak terduga tetapi menjadi solusi.
“Kalau dipikir-pikir bidah semua. Bikin organisasi, bidah. Bikin negara-bangsa itu bidah. Keluar dari Masyumi itu bidah. Itu kalau diukur dari teks. Tapi dari konteks, belakangan semua orang mengakui bahwa ini adalah jalan keluar yang menyelamatkan Indonesia,” katanya.
Gus Yahya memastikan bahwa semua yang dilakukan para kiai untuk menghadirkan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan dalam perjalanan sejarah itu, karena keterbukaan hati dan pikiran yang berasal dari Allah atau futuh minallah.
“Kiai-kiai ini ngajinya sama, gurunya sama, dengan ulama-ulama belahan dunia. Dapat dari mana kiai-kiai kita ini? Jawaban-jawaban itu tidak terduga tetapi menjadi solusi peradaban, itu karena futuhnya Allah. Ini yang kita harapkan,” katanya.
Ia menegaskan, jawaban-jawaban solutif bagi peradaban itu diberikan karena para kiai sudah mencurahkan segala energi dan mentalnya untuk membangun keikhlasan di dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu).
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF