Pesan KH Nurul Huda Djazuli Ploso: Berthariqah Harus dengan Ilmu. Ojo Ngawur!
Sabtu, 28 Mei 2022 | 20:47 WIB
KH Nurul Huda Djaluzi dalam Halal Bihalal IMAP (Ittihadul Mutakhorrijin) Al Falah Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur se-Jateng dan DIY di Convention Hall Masjid Agung Jawa Tengah, 27 Mei 2022
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Para kiai yang saya muliakan. Saya bahagia sekali melihat Anda berkumpul seperti ini, meriah. Semoga, yang kita maksudkan memperkuat himmah (cita-cita) di dalam mengaji untuk kita sendiri, untuk anak-anak kita, dikabulkan oleh Allah SWT.
Semoga saya dan Anda sekalian senantiasa sehat wal afiat. Anda diberi panjang umur dengan berkah, kita bisa berjuang selagi kita masih hidup untuk "li i'laa-i kalimatillah" atau "litakuuna kalimatullah hiyal 'ulya," berjuang menegakkan agama kita: agama Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah. Kalau menurut Anda, dibikin agak gampang: menurut paham Nahdlatul Ulama (NU). Tapi Anda saya kasih tahu, kita tidak cukup untuk mengatakan: "Saya itu NU," tanpa mengaji. Sebab tokoh-tokoh NU yang sudah populer waktu itu, kurang dalam mendidik putra-putra di dalam mengaji, menghidupkan dan mempertahankan pondok pesantren, Anda tahu sendiri kenyataannya sekarang: pesantrennya tidak dapat syiar, pesantrennya tidak seperti dulu.
Ini karena apa? Ya mungkin karena ada slogan: "Yang penting NU, yang penting Nahdlatul Ulama." Masalah yang penting itu, sudah jelas, tapi wa fauqa dzalik, di atas itu yang paling top, penting, adalah mengaji. Sebab ini tujuan NU.
NU itu dibentuk adalah untuk pondok pesantren supaya tetap menjadi pusat ta'lim wat ta'allum.
Saya ketika tahun 1961 (pergi) haji, ikut Mbah Kiai Mahrus Ali Pondok Pesantren Lirboyo. Kendaraannya masih kapal laut. Baru saja saya sampaikan Mbah Kiai Shodaqoh (Rais PWNU Jateng). Jadi, jarak tempuh Indonesia ke Jeddah itu 20 hari, kurang lebih. Jadi, lama di perjalanan, tak seperti sekarang. (Waktu itu) 20 hari baru sampai di Jeddah.
Tonton! Video Ceramah KH Nurul Huda Djazuli
Baca Juga
NU Rekatkan Aliran-aliran Thoriqoh
Pada suatu hari, Mbah Kiai Mahrus bertanya kepada saya: "Da," nama saya kan Huda. "Da, Bapakmu itu thariqahnya apa?" Kiai Mahrus tanya itu kepada saya.
Kiai, mohon maaf, bapak itu yang dikatakan: "Afdlalut thuruq ilallaah... thariqatut ta'lim wat ta'allum." Utama-utamanya thariqah (jalan) menuju Allah SWT adalah thariqah ta’lim (mengajar) dan ta'allum (belajar). Belajar dan mengajar itu adalah thariqah ta’lim wat ta'allum, yang paling tinggi. Ini maksud dari perkataan: "Afdlalut thuruq illallah thariqatut ta’lim wa ta'allum."
Kiai Mahrus langsung menjawab: "Bapakku seperti itu, Afdlalut thuruq ilallaah thoriqatut ta'lim wat ta'allum." Persis, apa yang disampaikan bapak saya. Masyaallaah.
Ini perlu saya utarakan kepada Anda, supaya Anda tahu dengan orang-orang kuno. Orang-orang yang seperti Mbah Kiai Djazuli, yang seperti Mbah Kiai Marzuki, yang seperti Mbah Kiai Ihsan Jampes. Mereka semua thariqahnya seperti ini.
Alhasil, maksudnya, supaya yang paling diutamakan itu adalah "thoriqatut ta'lim wat ta'aalum." Sebab, kita tahu thoriqah yang ini bagus, ini hebat, ini luar biasa, kalau dengan ilmu. Kalau ilmunya tidak ada, otomatis bagaimana mau membedakan? Bagaimana mau dapat menjaga thariqah yang merupakan thariqah menuju Allah SWT?
Para hadirin yang saya muliakan. Alhasil, jangan sampai kita semua tidak menyadari pentingnya ilmu. Sekarang, orang kan begini: "Yang penting temannya banyak, anggotanya banyak, kalau pemilu menang," hanya mencari keramaian. "Ini baru perkumpulan, banyak orang yang ikut," dengan pedoman-pedoman yang tidak bagus, yang menurut saya, banyak salahnya. Maka hati-hati.
Saya bilang begini tidak untuk mendiskreditkan yang namanya thoriqah, tidak. Tetap, thoriqah itu adalah sesuatu yang sangat bagus luar biasa, tapi sekali lagi, harus dikontrol dengan ilmu, dengan cara-cara yang benar. Kita buka kitab kita mengenai thariqah, thariqah apa saja. Thariqah Naqsyabandiyyah, Thariqah Qodiriyah dan juga thariqah-thariqah yang lain, yang semuanya itu ada kitabnya, tidak bisa meninggalkan kitab. Apalagi kiai, kok di thariqah serba ngawur, (itu) bahaya sekali. Sebab kebanyakan, kiai itu jadi pegangan banyak santri; jika sampai tanpa ilmu, tentu itu sangat bahaya.
Hadirin yang saya muliakan. Semoga putra-putri kita semua masih memiliki himmah alias cita-cita yang tinggi di dalam ta'lim wat ta'allum. Seperti yang tadi dipesankan Mbah Kiai Djazuli, dipesankan Mbah Kiai Mahrus dan lain sebagainya. Ini sangat perlu kita pahami.
Jangan sampai kita menjadi manusia yang tidak ilmiah. Kita di sana ilmiah, di sini ilmiah. Di sini ilmiah sampai akhirnya. Jangan sebaliknya: di sana ya jahiliyyah, di sini ya jahiliyyah. Sampai di pidatonya segala: "Mondok itu tidak penting, tidak perlu, Yang perlu itu wiridan (baca wirid)," nanti dulu. Wiridan (baca wirid) pun kalau tidak benar, apa gunanya? Maka alhasil: mengaji jangan ditinggalkan. Ya Allah. Ini yang dapat saya utarakan, meski sedikit, semoga manfaat dan berkah untuk kita semua.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
*Disampaikan KH Nurul Huda Djaluzi dalam Halal Bihalal IMAP (Ittihadul Mutakhorrijin) Al Falah Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur se-Jateng dan DIY di Convention Hall Masjid Agung Jawa Tengah, 27 Mei 2022. Dialihtulis dan diterjemah oleh Ahmad Naufa, kontributor NU Online.
Editor: Zunus Muhammad