KH Ali M Abdillah menjelaskan terkait ciri tarekat Muktabarah dan tidak Muktabarah. (Foto: NU Online/Syakir)
Jakarta, NU Online
Umat Islam menempuh berbagai macam jalan untuk lebih dekat dengan Allah swt. Salah satunya adalah dengan menempuh jalan bertarekat. Namun, ada begitu banyak tarekat. Bahkan beberapa di antaranya malah tidak mengarahkan muridnya ke jalan yang benar.
"Faktanya tidak semua tarekat itu jalannya lurus. Jangan sampai umat Islam sudah berusaha bertarekat tapi bertemu tarekat yang jalannya tidak lurus," kata KH Ali M Abdillah, Sekretaris Awal Jamiyyah Ahlit Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyah (JATMAN), kepada NU Online pada Rabu (13/7/2022).
Melihat fakta demikian, lanjut Kiai Ali, NU mendirikan JATMAN sebagai wadah tarekat Muktabarah. Ia menyampaikan bahwa nama organisasi ini mencantumkan penegasan al-Mu'tabarah an-Nahdliyah.
"Ini penegasan yang sangat jelas, yaitu tarekat yang muktabarah," ujar Ketua Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini.
Kiai Ali menjelaskan, bahwa muktabarah yang dimaksud berarti tarekat tersebut berpegang pada syariat Nabi, baik lahir maupun batin, dan berpegang pada dalil-dalil Al-Qur'an, Hadits, ijmak, dan qiyas. "Prinsip ini menjadi landasan utama pengikut tarekat Muktabarah," ujarnya.
Selain itu, dalam hal akidah, sebagai fondasinya tarekat tersebut berpijak pada pemahaman akidah Asyariyah dan Maturidiyah.
"Prinsip ini sangat penting bagi pengikut tarekat muktabarah karena jika tidak akan terjadi seperti pengikut tarekat yang berani menabrak aturan syariat," ucapnya.
Beda tarekat muktabarah dan ghairu muktabarah
Kiai Ali menjelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan antara tarekat yang muktabarah dan tidak muktabarah. Menurutnya, tarekat muktabarah selalu mengedepankan syariat. Dalam hal shalat wajib, misalnya, tetap harus dilakukan sebagaimana mestinya dan disempurnakan dengan shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya.
"Dalam melaksanakan kewajiban shalat fardhu, (di tarekat tidak muktabarah) ada sikap menganggap enteng. Sementara di tarekat muktabarah, shalat wajib dan sunnah bagian dari kaifiyat yang dilaksanakan oleh seorang salik," katanya.
"Ini salah satu perbedaan dalam hal shalat," imbuh Pengasuh Pondok Pesantren Rabbani itu.
"Sementara ghairu muktabarah, yang wajib saja dianggap enteng, bagaimana yang sunnah," lanjutnya.
Menurutnya, hal ini terjadi karena akar tarekat ini hilang, yaitu silsilah yang bersambung terus hingga Nabi Muhammad saw.
Sementara itu, para pengikut tarekat muktabarah tidak berani melakukan penyimpangan, terlebih menabrak aturan syariat. "Karena memiliki silsilah bersambung, sanad yang jelas dengan guru sebelumnya," jelasnya.
Karena sanadnya tidak nyambung, pengikut tarekat itu ada potensi untuk melakukan hal-hal baru yang aneh-aneh dalam tarekatnya. "Karena minim literasi dan pemahaman syariat sehingga melakukan hal baru itu bertabrakan dengan syariat," jelasnya.
Contohnya, ada kelompok tarekat tidak muktabarah itu memiliki pemahaman bahwa haji tidak perlu ke Arab Saudi. Namun, uang haji lebih baik disetorkan ke syekhnya yang bernilai sama dengan berhaji. Ada juga yang cukup umrah dengan syekh atau mursyidnya. Itu nilainya sama dengan haji.
"Jadi, ada potensi perlawanan terhadap syariat, menabrak syariat. Itu terjadi di Jawa maupun luar Jawa," katanya.
Tarekat yang tidak muktabarah ini juga ada yang meyakini bahwa menikah tidak perlu wali dan saksi. "Kalau ini diyakini dan dipahami murid maka yang terjadi nabrak syariat lagi. Sementara Nabi sudah membuat aturan soal nikah secara umum diyakini umat Islam," jelasnya.
"Tarekat ghairu (tidak) muktabarah ini ada keyakinan demikian sehingga ada potensi penyimpangan keresahan di publik," imbuhnya.
Pemahaman soal syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat bagi pelaku tarekat ghairu muktabarah seolah-olah kadang lebih mengabaikan syariat. "Padahal praktik sesungguhnya integrasi, tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya," katanya.
Tarekat yang tidak muktabarah sering menimbulkan kontroversi keresahan di tengah masyarakat sehingga kasusnya banyak naik ke MUI dan hingga ke kepolisian.
"Dampak negatif yang terjadi pada Tarekat ghairu muktabarah ini terbukti di mana-mana. Publik perlu waspada memilih tarekat yang benar," katanya.
MUI, misalnya, pernah mengeluarkan fatwa sesat terhadap tarekat Akmaliah di Pati. "Karena ada penyimpangan seperti shalat fardhu diabaikan," ucapnya.
Oleh karena itu, umat Islam harus semakin selektif dan cerdas dalam memilih tarkat muktabarah. "Muktabarah pasti para mursyidnya berpegang pada kitab muktabar. Tarekat Muktabarah semata membimbing umat. Tidak ada kepentingan duniawi sehingga tidak ada doktrin tertentu yang menyimpang dari ajaran Rasulullah saw," pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin