Bandung, NU Online
Mayoritas jamaah haji Indonesia melaksanakan haji tamattu', yakni menunaikan ibadah umrah wajib terlebih dahulu, baru kemudian ibadah haji. Secara fiqih, pelaksanaan jenis haji ini berkonsekuensi kewajiban membayar dam atau denda bagi pelakunya berupa menyembelih kambing.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag RI Hilman Latief menjelaskan, potensi dana dam yang terkumpul sangat besar ketika sebanyak 200 ribu jamaah membayarnya secara kolektif dan terorganisasi.
Dalam hitungan kasar, saat harga dam dibuat rata-rata 600 SAR per jamaah, itu berarti ada 120 juta SAR atau setara dengan sekitar Rp480 miliar yang terkumpul. Harga 600 SAR mengacu pada harga dam para petugas haji 2023 yang dikelola perdana secara kolektif oleh PPIH Arab Saudi.
"Ini baru dam. Belum kurban yang biasanya juga dilakukan oleh jamaah haji, bisa lebih banyak lagi," kata Hilman kepada NU Online di sela Rakernas Evaluasi Penyelenggaraan Ibadah Haji 1444 H/2023 M di Bandung, Jumat (8/9/2023) malam.
Selama ini, kata Hilman, pembayaran dam dikelola secara sendiri-sendiri oleh KBIHU (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah). Harga yang ditanggung jamaah pun bervariasi, mulai dari 350 SAR hingga 750 SAR.
"Ini sangat jomplang sekali. Nah, Kemenag ingin mensyaratkan yang terbaik, yang sesuai standar," tambahnya.
Menurutnya, standarisasi harga juga terkait dengan standar rumah pemotongan hewan (RPH) yang amanah dan bertanggung jawab, mulai dari kualitas hewan sembelihan hingga distribusi dagingnya yang tepat sasaran.
Butuh Legitimasi Fiqih
Dalam beberapa kesempatan, Kemenag memandang pengelolaan dam secara kolektif dan terpusat ini cukup efektif untuk kemaslahatan warga di Tanah Air, baik untuk mengatasi masalah stunting ataupun perbaikan gizi secara umum.
Namun demikian, pemerintah tidak bisa menerapkan begitu saja sebelum ada legitimasi fiqih yang membolehkannya.
"Kita tahu fatwa-fatwa selama ini ada upaya untuk memaksimalkan tata kelola dam. Fatwa MUI ada, fatwa Majelis Tarjih (Muhammadiyah) juga ada. Tetapi di situ memang masih normatif: harus digunakan manfaatnya. Tapi untuk siapa? Untuk umat yang mana?" papar Hilman.
Dalam pendapat fiqih yang populer, dam disyaratkan untuk disembelih dan didistribusikan ke kaum miskin di Tanah Haram. Mengingat terlalu banyaknya daging yang beredar di Tanah Haram, muncul pendapat untuk membagikan daging ke belahan negara lain yang juga membutuhkan.
"Nah, mungkinkah dengan dalil kemaslahatan, kita bisa membayar damnya kolektif dan barangkali pembagiannya di Tanah Air, baik kolektif oleh jamaah ataupun melalui KBIHU atau lembaga yang lain?" jelas Hilman.
Pemaksimalan tata kelola dan manfaat dam juga menjadi topik pembahasan di Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2023 di Jakarta, 18-19 September. Topik ini muncul dari problem pengelolaan dam ratusan ribu jamaah yang belum terorganisasi dan belum memberi dampak maksimal pada kesejahteraan warga di Indonesia.
"Ya, semoga Munas NU bisa memberi jalan keluarlah. Kita kan tidak bisa memesan fatwanya tapi kelihatannya banyak sekali suara 'kenapa (distribusi daging dam) kok enggak di sini saja'," ujar Hilman.