Nasional

Prinsip Gus Dur Mengelola Ekonomi saat Jadi Presiden 

Kamis, 22 Desember 2022 | 07:30 WIB

Prinsip Gus Dur Mengelola Ekonomi saat Jadi Presiden 

Hj Zannuba Arrifah Chafshoh (Yenny Wahid) saat Haul Ke-13 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Rabu (21/12/2022) mengatakan dalam masalah ekonomi, Gus Dur lebih mementingkan pemerataan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi semata. (Foto: NU Online/Syarif Abdurrahman)

Jombang, NU Online

Hj Zannuba Arrifah Chafshoh atau akrab dipanggil Ning Yenny Wahid menjelaskan cara Presiden Ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengelola ekonomi ketika memimpin Indonesia.


Menurut putri kedua Gus Dur tersebut, dalam masalah ekonomi, Gus Dur lebih mementingkan pemerataan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi semata.


"Dalam bidang ekonomi, Gus Dur tidak mengejar econimic growth (pertumbuhan ekonomi) saja, akan tetapi juga mengejar economi equality (pemerataan ekonomi)," jelasnya saat Haul Ke-13 Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Rabu (21/12/2022) malam.


Yenny menambahkan, alasan Gus Dur lebih mementingkan pemerataan ekonomi karena ia menganut prinsip keseimbangan dalam mengelola negara. Sehingga yang kaya dan miskin merasa diayomi oleh negara.


Oleh karena prinsip tersebut, Gus Dur sering disalahpahami. Namun, ia tetap jalan dengan dasar kemaslahatan bersama. Hal tersebut juga terlihat dalam mengatur perekonomian negara. 


"Jika hanya pertumbuhan ekonomi yang dikejar, jangan-jangan yang kaya orang-orang itu saja, jurang antara si miskin dan si kaya semakin melebar, itulah kenapa kebijakan yang digagas Gus Dur rata-rata berpihak kepada kaum kaum mustadh'afin (kaum lemah), kaum yang terdzolimi," imbuhnya.


Dikatakan Yenny, kebijakan Gus Dur yang lebih mementingkan pemerataan ekonomi terkadang membuat pihak lain marah, karena keuntungannya berkurang dan lain sebagainya.


Dalam memimpin negara, Yenny mengibaratkan Gus Dur sebagai bapaknya masyarakat yang tidak melulu harus mengikuti apa yang diinginkan masyarakat. Namun, harus mempertimbangkan kemaslahatan secara umum.


Terkait masalah ini, salah satu prinsip yang dipegang Gus Dur yaitu menanamkan diri di tanah kehampaan sebagaimana yang termaktub dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu 'Athoillah As-Sakandari yang berbunyi:

ادْفِنْ وُجودَكَ في أَرْضَ الخُمولِ

 

Hal inilah yang menjadikan Gus Dur dalam melakukan banyak hal menjadi mudah, sebab Gus Dur tidak mencari popularitas, Gus Dur tidak mencari pujian-pujian, Gus Dur hanya mencari ridha Allah dan hal yang bisa bermanfaat bagi orang banyak.


"Sehingga ketika mengambil keputusan atau kebijakan sudah tidak lagi memikirkan cacian orang banyak, karena Gus Dur tidak mencari dukungan," tegas perempuan kelahiran Jombang ini.


Yenny menegaskan, sikap Gus Dur dalam memutuskan sesuatu berdasarkan kaidah keilmuan. Termasuk dalam memimpin Indonesia dengan konsep pemerataan ekonomi.


Hal ini senada dengan konsep yang mendasari kaidah fiqh tentang kemaslahatan sebagai landasan kebijakan, Imam Syafi'I pernah berkata:


 منزلة الإمام من الرعية منزلة الولي من اليتيم.

 

Posisi seorang imam atas rakyatnya seperti posisi seorang wali pada anak yatim (dalam urusan mengetahui kemaslahatan, dalam mentashorrufkan harta bendanya). 


Dalam nash yang disampaikan Imam Syafi'i ini memberikan kefahaman bahwa kebijakan seorang pemimpin harus berdasarkan kemaslahatan bagi rakyatnya, tidak memandang apakah keputusan tersebut nantinya ditolak oleh rakyat atau diterima.


"Sebagaimana sikap seorang wali dari anak yatim yang berhak untuk tidak memberikan harta anak yatim untuk dihabiskan seketika, walaupun ia merengek menangis agar keinginannya terpenuhi," ujarnya.


Sederhananya, lanjut Yenny, secara umum kebijakan dalam negeri Gus Dur bersifat mengayomi, sebab Dus Dur tidak ingin terjadi tyranny of majority over minority tirani antarmasyarakat mayoritas terhadap minoritas.


Landasan kebijakan ini, dalam memutuskan sebuah kebijakan, pemimpin mendasari kepada kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya, sesuai kaidah:

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

 

"Karena jika mayoritas mendominasi minoritas maka maka akan sangat berbahaya, seperti kerusakan pada negara hingga konflik antarmasyarakat. Begitu pun dengan kebijakan luar negeri, Gus Dur bersikap selalu di tengah," tandasnya.


Kontributor: Syarif Abdurrahman 
Editor: Kendi Setiawan