Nasional

Problematika dan Solusi Penghafal Al-Qur’an di Era Modern

Sabtu, 23 Oktober 2021 | 03:00 WIB

Problematika dan Solusi Penghafal Al-Qur’an di Era Modern

Ilustrasi

Jakarta, NU Online
Faedah dari menghafal Al-Qur’an tiada perlu diragukan lagi. Ia mampu memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat; rasa tenteram; bersihnya ingatan dan intuisi; ladang ilmu; identitas baik dan perilaku jujur.
 
Demikian disampaikan oleh Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) M Abd Rahman saat mengisi Workshop Daring bertajuk Problematika Penghafal Al-Qur’an di Era Modern, Jumat (22/10/2021).

 

Kendati demikian, kata Rahman, di era modern saat ini dengan kesibukan manusianya yang tampak tak bertepi, menghafal Al-Qur’an sendiri seperti menjadi tidak mudah. Membagi pengalamannya, di workshop yang terlaksana berkat kerja sama NU Online dan UNUSIA itu, Rahman mengungkapkan problematika yang secara umum dirasakan selama proses menghafal Al-Qur’an, sekaligus memberi solusi tentang menghafal Al-Qur’an.

 

Pertama, menghafal itu susah. Menurut Rahman, pada pengaplikasiannya ini dirasa susah. Karena, sesuatu yang mudah pun akan ada prosesnya. Jadi, anggapan menghafal itu susah seolah begitu melekat. Ditambah aktivitas menghafal yang cenderung monoton.

 

Kedua, cepat hilangnya ingatan akan ayat yang dihafal. Sebagai penghafal sekaligus guru didik, ia membagi cerita tentang bagaimana anak didiknya mengalami hal tersebut. 

 

"Waktu kita lockdown, semua pesantren meliburkan para santrinya. Ada santri binaan saya yang orang tuanya menelepon 'Ustadz, anak saya ini ngafalain di rumah, tapi kenapa setelah saya tanyakan hafalannya siangnya hilang. Ini berbeda dengan hafalan yang didapat dari pesantren'," papar Rahman.

 

Baginya, ada beberapa cara yang perlu diterapkan agar peserta didiknya selalu ingat, seperti terus mengulang-ulang hafalan secara rutin dan jangan kecolongan malas. 

 

Ketiga, banyaknya ayat yang serupa. Seperti ditemukan salah satunya pada QS al Kafirun. "Itu sering berulang-ulang. Memang ini suatu problem," kata Rahman. 

 

Tetapi pada perkembangannya, sambung Rahman, hal tersebut direkam oleh beberapa penerbit Al-Qur’an. Penerbit kemudian diketahui mencetak Al-Qur’an dengan menaruh keterangan ayat-ayat yang serupa di bagian bawahnya. Inilah cikal bakal hadirnya Al-Qur’an hafalan. 

 

Keempat, gangguan lingkungan. Karena seorang penghafal perlu berdamai dengan sesuatu yang di luar dirinya, baginya ini lebih susah. 

 

"Terlebih yang kuliah. Kita tidak bisa melawan perkembangan zaman, yang dibutuhkan adalah adaptasi perkembangan tersebut," katanya.

 

Kelima, banyaknya kesibukan. Di tengah-tengah padatnya kesibuka, penghafal Al-Qur’an dituntut untuk bisa menentukan skala prioritas. Memilah dan menentukan aktivitas penting yang harus tetap dijalankan tanpa menjadi batu hambatan untuk tetap menghafal.

 

Dengan segala problematikanya, bagi Rahman hal tersebut bukanlah masalah tanpa solusi. Pada kesempatan yang sama, ia turut membeberkan kiat-kiat yang bisa diterapkan selama menghafal  Al-Qur’an. 

 

Ia menyebutkan untuk menguatkan minat. Baginya, minat merupakan kunci untuk senantiasa menciptakan rasa nyaman dalam proses menghafal. Rasa nyaman tersebut harus selalu dibangun, karena ia tidak serta merta muncul saat baru berinteraksi. 

 

Selain itu, ia juga menyerankan untuk melakukan pendekatan intuitif seperti shalat malam, puasa, dan memperbanyak zikir. Terakhir, manajemen waktu. Alokasikan waktu untuk menghafal dan mengulang hafalan. Pembagian waktu yang ia sarankan: waktu fajar, setelah fajar hingga terbit matahari, setelah bangun tidur siang, dan setiap selesai shalat. 

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan