Prof Mukri: Waspadai Jebakan Algoritma saat Bermedia Sosial
Senin, 28 Agustus 2023 | 08:00 WIB
Bandarlampung, NU Online
Saat ini media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang modern. Kemudahan yang disuguhkan terutama dalam mengakses informasi dan berinteraksi menguatkan fakta bahwa saat ini sudah ada dua kehidupan dunia yang dilakoni oleh manusia yakni dunia nyata dan dunia maya.
Namun di balik kemudahan tersebut, setiap individu harus mengetahui dan mewaspadai bahwa media sosial bekerja menggunakan sistem yang disebut sebagai algoritma. Sistem ini dirancang untuk mengenali preferensi dan perilaku pengguna media sosial dengan memilih konten yang dianggap paling relevan atau menarik bagi pengguna berdasarkan riwayat interaksi mereka.
Dengan pola ini dapat menjadikan seseorang terkena jebakan algoritma di mana ia hanya akan mendapatkan input informasi atau pandangan yang sejalan dengan pandangan mereka saja. Jika hal ini tidak disadari, maka apa yang disodorkan oleh sistem algoritma akan mempengaruhi pola pikir, pemahaman, dan tindakan seseorang.
Hal ini diungkapkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Pendidikan Prof Mohammad Mukri saat berdiskusi dengan NU Online terkait pola pemahaman keagamaan yang dimiliki manusia modern di tengah derasnya perkembangan teknologi dan arus informasi media sosial di Bandarlampung, Ahad (27/8/2023).
Memahami pola kerja media sosial ini, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar Jawa Timur ini pun mengingatkan masyarakat untuk tidak larut dengan sistem algoritma. Masyarakat harus mampu memilah dan memilih informasi yang direkomendasikan oleh sistem algoritma dengan mencari informasi pembanding dari berbagai sumber lain yang berbeda untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap.
“Waspadai jebakan algoritma saat bermedia sosial dengan meningkatkan keterampilan pemikiran kritis untuk menilai kebenaran dan kepastian informasi sebelum mengambil kesimpulan,” ingatnya pada diskusi yang juga dihadiri oleh seorang Mantan Napiter (Narapidana Teroris) bernama Arif Budi Setyawan.
Dalam kesempatan tersebut, Arif Budi Setyawan juga mengisahkan bagaimana internet dan media sosial mempengaruhi pola pikir dan sejarah kehidupannya sehingga terbawa ikut dalam dunia radikalisme dan terorisme. Arif mengungkapkan bahwa internet memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi ideologi seseorang.
Sosok yang dulunya pernah menjadi pengirim orang-orang pelatihan ke ISIS, pencari dana untuk kegiatan terorisme, pembeli senjata-senjata, hingga pengajar pembuatan bom ini, mengaku larut dalam kemudahan-kemudahan mengakses internet. Dengan mudahnya ia mendapatkan ‘ustadz’ yang menjadi referensi pemahaman agamanya di internet. Ia bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki paham yang sama melalui media sosial.
Baca Juga
Dua Sikap Bijak terhadap Media Sosial
Inilah yang menurutnya menjadi salah satu sebab orang modern saat ini ‘malas’ mengaji karena mengandalkan kemudahan internet dalam mengakses informasi keagamaan karena berbagai kebutuhan ada di sana. Padahal cara pengambilan ilmu agama dan kaidah ilmiah dalam mencari ilmu tidak menggunakan cara tersebut.
“Kalau kita ikut kiai, kan kita tahu orangnya. Bukan hanya taklid (percaya) begitu saja kepada google,” katanya.
Ia pun menyesal karena telah menggunakan cara yang tidak benar dalam belajar agama sehingga menghantarkannya ke dunia teroris. “Saya pernah salah jalan. Sehingga ketika di penjara memiliki waktu banyak untuk merenung, ada satu yang menggugah kesadaran saya bahwa seandainya saya dulu ngajinya pakai metode (yang benar dengan tidak percaya begitu saja kepada internet), maka saya tidak akan jadi teroris. Saya yakin itu,” ungkapnya.
Ini menurutnya menjadi tantangan nyata ke depan bagaimana menjadikan generasi mendatang memiliki pemahaman agama yang benar langsung dari ustad atau kiai yang jelas kompetensi dan silsilah keilmuannya. Bukan dari ustadz di media sosial yang para generasi muda tidak tahu rekam jejak ustad tersebut.