Psikolog Ungkap Tiga Alasan Generasi Z sering Berpindah Tempat Kerja
Selasa, 15 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Jakarta, NU Online
Gen Z perlahan mulai mendominasi dunia kerja. Mereka yang lahir di medio 1997 hingga 2012, tumbuh dalam era digital. Banyak ide segar, perspektif baru, serta keterampilan yang dapat mengisi ruang-ruang kerja. Namun, mereka juga sering dihadapkan pada stigma negatif, seperti dianggap terlalu sensitif, tidak konsisten, dan rentan berpindah-pindah pekerjaan.
Psikolog Klinis Bianglala Andriadewi menjelaskan bahwa stigma ini mirip dengan yang terjadi pada generasi milenial ketika mereka mulai mendominasi pasar tenaga kerja. Banyak yang menilai gen-Z dinilai kurang konsisten.
Padahal, menurut Bianglala, ada beberapa alasan yang menjelaskan penyebab gen Z sering berpindah kerja, yang lebih kompleks daripada sekadar tekanan dari lingkungan.
Pertama, generasi Z lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental dibandingkan generasi sebelumnya. Istilah seperti burnout yang dulu jarang dibahas, kini menjadi diskusi yang umum di kalangan anak muda.
“Ini berdampak positif, karena gen Z lebih proaktif dalam menjaga kesejahteraan mental mereka. Namun, di sisi lain, terlalu banyak pelabelan juga bisa menghambat perkembangan,” kata Lala, sapaan akrabnya kepada NU Online, Selasa (15/10/2024).
Selain itu, meskipun sadar akan pentingnya kesehatan mental, banyak dari gen Z belum mampu mengakses layanan profesional seperti psikolog.
“Gen Z sadar akan kesehatan mental tapi tidak banyak dari mereka yang ke psikolog karena masih muda, awal karir dan tidak punya biaya. Jadi mereka tahu sedang mengalami hal-hal sulit tapi tidak bisa mencari bantuan yang profesional,” kata dia.
Kedua, gen Z lebih sadar hak di tempat kerja. Bianglala mengungkapkan, generasi Z lebih vokal dalam menyuarakan hak-hak mereka di tempat kerja dibandingkan generasi sebelumnya. Gen Z lebih berhati-hati dalam membedakan antara hak dan kewajiban.
“Kalau generasi saya atau orang tua saya, kerja itu diniati ibadah, bantu orang tua. Generasi sekarang enggak gitu misal jika kerja tidak sesuai jobdesk mereka akan bilang itu bukan tugas kewajibanku dan segala macam,” terang Lala.
Di satu sisi, kesadaran ini penting agar perusahaan tidak memperlakukan karyawan semaunya, tetapi di sisi lain, hal ini juga bisa menyebabkan gen Z terlihat terlalu perhitungan dan kurang fleksibel.
“Sebetulnya itu bagus agar perusahaan tidak seenaknya sendiri. Cuman akhirnya jadi sangat perhitungan. Misal enggak mau sama sekali mengerjakan sesuatu karena bukan kerjaannya padahal ada ruang improvement di situ,” jelasnya.
“Jangankan hak dan kewajiban, kadang ada pelecehan seksual, gen Z tidak diam, tapi harus menyampaikan ke HRD, lapor ke serikat kerja. Kalau tidak, ia keluar kerja,” imbuh Lala.
Karena perhatian yang tinggi itu, kata Lala, gen Z sadar apa yang salah dan benar, tetapi berdinamika dengan orang lain tentu sangat memungkinkan banyak salah. Hanya saja cara gen Z ini berbeda dengan milenial awal dan boomers.
“Gen Z sebetulnya pinter sebagaimana artikel di Barat, mereka menuliskan bahwa gen z kreatif dan sadar kesehatan mental. Entah kenapa di Indonesia malah lebelnya sangat negatif,” ungkapnya.
Ketiga, kemudahan teknologi membuat gen-z punya banyak harapan. Generasi Z tumbuh dengan kemudahan teknologi yang membuat segalanya lebih instan. Mereka tidak perlu menunggu hari Minggu untuk menonton kartun, misalnya, karena ada kemudahan akses video atau film di berbagai platform yang memungkinkan mereka menonton kapan saja.
Namun, kemudahan ini juga membawa ekspektasi sosial yang semakin tinggi. Apa yang dulu dianggap sebagai pencapaian besar, seperti gelar S2, sekarang sering kali dipandang biasa saja. “Tekanan untuk memenuhi standar tinggi inilah yang sering membuat gen-z terlihat lebih tertekan secara mental,” jelasnya.
Bianglala menekankan bahwa lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental menjadi penting. Budaya kerja yang sehat bisa dimulai dari pemimpin perusahaan.
“Pemimpin perlu mencontohkan perilaku yang baik, seperti bersikap sabar dalam menghadapi masalah dan memberikan waktu istirahat jika diperlukan. Jika pemimpin bisa menciptakan budaya kerja yang positif, maka tim juga akan lebih mudah menyesuaikan diri,” tandasnya.