Jakarta, NU Online
Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta menghelat diskusi ilmiah bertema “Islam Nusantara perspektif KH Abdurrahman Wahid”, Senin (6/4) pagi. Diskusi tersebut dihelat bebarengan dengan pemilihan ketua Forum Kajian Ushuluddin (Fokus) 2015.<>
Acara yang digelar di lantai 4 gedung Pascasarjana PTIQ ini diinisiasi oleh Fakultas Ushuluddin. Hadir selaku narasumber dosen Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta Syaiful Arif dan dosen Tafsir dan Ulumul Quran yang juga Dekan Fakultas Ushuluddin PTIQ Dr A Khusnul Hakim.
Dalam sambutannya selaku dekan, Khusnul mengatakan, persoalan tafsir selalu berkembang sesuai zaman dan tempat. Penafsiran untuk konteks Indonesia tentu berbeda pendekatannya dengan di mancanegara, termasuk Timur Tengah khususnya Arab Saudi di mana Islam dilahirkan.
"Penafsiran Quran di Indonesia selama ini melulu menggunakan pendekatan Arab atau Timur Tengah. Mestinya, kita juga tak melupakan pendekatan ala Nusantara agar lebih kontekstual,” kata khusnul.
Menurut khusnul, mahasiswa PTIQ memiliki tugas penting terkait dua realitas pendekatan Al-Quran: tekstual dan kontekstual. Untuk tugas menjaga realitas teks dari Al-Quran, bisa dilakukan melalui hapalan. Selain itu, ada juga realitas konteks. Harus sesuai dengan kaidah 'shalih likulli zaman wa makan'.
“Nah, ketika masuk term ‘di mana saja’, ini jadi tidak pas jika pendekatan kita Timur Tengah atau Arab minded, sementara kita tinggal di Indonesia. Oleh karena itu, pemikiran Gus Dur yang akan dipaparkan saudara Syaiful Arif ini kita harapkan bisa membuka wacana Tafsir baru untuk merespons ayat tersebut,” tegasnya.
Senada dengan Khusnul Hakim, Syaiful Arif dalam presentasinya menyatakan sangat senang bisa bersilaturrahim sembari berdiskusi dengan sivitas akademika PTIQ Jakarta. Sebab, dirinya sejak lama telah bermimpi bahwa kebangkitan peradaban Islam lahir dari PTIQ.
“Sejak dahulu saya memimpikan kebangkitan peradaban Islam itu di sini (PTIQ-red), bukan di tempat lain. Jadi, teman-teman ketika datang dari kampung ke kampus PTIQ di Jalan Batan Pasar Jumat ini mau nggak mau mendaulat diri sebagai pengusung kebangkitan Islam Indonesia,” ujar Arif mengawali diskusi yang langsung disambut aplaus panjang hadirin.
Arif beralasan, banyak sekali kesalahpahaman terhadap Islam, salah satunya tak paham Ulumul Qur’an. Kalau sekedar mengetahui ayat lalu ditafsirkan semaunya sendiri, itu berarti sudah tidak memakai ilmu lagi. Hal terpenting, bagi dia, PTIQ merupakan mesin penggali dan pembangkit peradaban Islam Indonesia.
“Nah, PTIQ di sini sebagai mesin penggali sekaligus pembangkit peradaban Islam Indonesia yang kemudian kita sebut sebagai Islam Nusantara itu, akarnya ya di PTIQ, yang merupakan institusionalisasi modern dalam rangka tradisi akademik dari komunitas sekaligus lembaga pendidikan pesantren,” urai pria lulusan Pesantren Ciganjur Jakarta ini.
Ketika kita membicarakan Islam Nusantara perspektif Gus Dur, lanjut Arif, maka akan ditemukan sebuah pandangan bahwa pesantrenlah yang menjadi bentuk paripurna dari Islam Indonesia.
“Akan tetapi, pesantren bukan hanya sebatas lembaga pendidikan semata, karena sekarang ini banyak pesantren yang tidak memiliki cukup persyaratan kultural, ideologis, dan metodologis dari pesantren yang sesungguhnya,” tandasnya. (Musthofa Asrori/Fathoni)