Nasional

Puasa dan Pengalaman Masa Bocah (1) KH Saifuddin Zuhri dan Beduk

Jumat, 25 Mei 2018 | 18:00 WIB

“Kita kan orang Islam! Orang-orang yang berpuasa Ramadhan kelak di akhirat tidak akan mengalami haus dan lapar,” kata seorang ibu kepada anaknya. 

Anak yang dimaksud di situ adalah KH Saifuddin Zuhri yang didokumentasikan pada tulisannya sendiri, Berangkat dari Pesantren (LKiS, halaman 26). Buku tersebut memiliki tebal 776 halaman. Isinya tidak hanya cerita soal puasa, tapi berbagai hal, termasuk NU dan sejarah lainnya.

Berada di keluarga agamis, Saifuddin kecil menuruti anjuran ibu dan tentu bapaknya untuk berpuasa. Hal itu tertanam di dalam dirinya pada masa remaja, dan masa tuanya. Di novel yang ditulisnya, ia merasakan manfaat anjuran ibunya pada masa kecil itu. Ia menulis demikian: 

“Sebenarnya tidaklah terlampau sukar, asal ada kemauan dan ketekunan dari kalangan orang tua. Kita sekarang, setelah anak-beranak, merasa sangat beruntung bahwa dahulu orang tua kita membiasakan kita semua mempraktikkan beragama dalam kehidupan sehari-hari di rumah kita masing-masing. Bahkan, kadang-kadang kita juga merasa sangat beruntung bahwa orang tua kita seperti memaksakan sesuatu kepada kita. Kita sering merenungkan sekarang, andai kata orang tua kita tidak memaksakan kita berpuasa atau sembahyang, apa jadinya kita sekarang ini?” Guruku Orang-orang dari Pesantren (73-74).

Dalam kenangan masa kecilnya, sebelum puasa, anak-anak di zaman itu pergi ke kuburan. Tentunya bersama orang tua masing-masing untuk membersihkan makam leluhur mereka. Namun, makam leluhur Saifuddin selalu dalam keadaan bersih karena tiap Jumat selalu dibersihkan.  

“Tiap menjelang Ramadhan, seluruh desa seakan-akan dimiliki anak-anak,” ungkap Kiai Saifuddin di Berangkat dari Pesantren. 

Anak-anak bertebaran di mana-mana, di sungai, di stasiun hingga terminal. Di sungai, mereka mandi sepuasnya hingga matan memerah dan kulit mengelupas pucat karena saking berendam berjam-jam. Maklum, waktu itu, tiap menjelang puasa, anak-anak sedang libur panjang sekolah. 

Waktu itu, anak laki-laki, mencari sebatang kayu yang bagus. Buat apa? Untuk pemukul beduk. Mereka merasa bukan anak laki-laki jika tidak memiliki pemukul beduk. Dan tentu saja harus dibikin mereka sendiri. Barangsiapa yang membuat pemukul beduk oleh orang lain, misal orang tuanya, maka dia dianggap bukan anak laki-laki di mata teman-temannya. 

Jika anak yang kedapatan dibikinin pihak lain, maka ia akan dibully dalam istilah sekarang. Anak-anak demikian tak perlu disunat atau dikhitan. 

Selepas ashar mereka berkumpul di Masjid Kauman, siap siaga mengelilingi beduk. Ini merupakan momentum yang ditunggu mereka sedari jauh hari. 

Masjid Kauman dengan halaman luas itu, dipenuhi anak-anak. Tangan masing-masing memegang pemukulnya. Mereka datang beberapa jam sebelumnya dan berlomba-lomba menjadi orang yang paling dekat dengan beduk. 

Anak-anak perempun tak ketinggalan. Namun, mereka berada pada jarak tertentu, yaitu di serambi masjid. Biasanya sambil mengasuh adiknya masing-masing atau bermain yang khusus perempuan seperti bekel atau dakon. 

Setelah mendapat isyarat dibolehkan memukul beduk dari muadzin Masjid Kauman, anak-anak meyerbu beduk. Namun, biasanya anak-anak yang lebih dewasa sudah lebih dahulu menguasai. Sementara yang pasukan cadangan yang akan memukul beduk pun antrenya bukan main. Sementara yang mendapat kesempatan memukul beduk, tidak memanfaatkanya dengan baik. 

“Hai, hai, dengarkan anak-anak. Tiba-tiba muadzin berteriak. Tidak bisa dengan cara begitu kalian memukul tabuh. Mana bisa membunyikan beduk dengan semrawut begitu. Memukul tidur harus secara beraturan, memakai irama. Hayo, semuanya menyingkir,” perintahya. 

Anak-anak pun menyingkir. Ia kemudian mencontohkan bagaimana memukul beduk dengan baik dan benar sesuai kaidah perbedukan yang berlaku di masjid itu dengan ditemani pemukul lain, Ahmad Sadeli, seorang anak lebih tua tiga tahun dari Saifuddin. 

Muadzin membuat pukulan-pukulan pertama sebagai dasar lagu. Kemudian Ahmad Sadeli membuat bas dengan nada besar. Harmoni pun terjadilah. Suara beduk yang berbunyi gagah, penuh wibawa dan agung, memukau kami dengan pesonanya. Kami seperti digugah tiba-tiba,” tutur Kiai Saifuddin pada Berangkat dari Pesantren halaman 29.

Saat itu, muncul ide di kepala Saifuddin. Ia mengajak Anwar, Ihsan, Abdul Majid, dan Salim menyanyikan bait-bait Barzanji. Karena irama itu populer, sebagian besar anak-anak mengikutinya. Suasana menjadi khidmat karena membayangkan kehadiran Rasulullah.

Perilaku anak-anak yang demikian itu menandakan keesokan hari akan tiba hari pertama puasa yang ditentukan atas musyarah para kiai dan penghulu. 

“Mengenai puasa Ramadhan, meski disadari bakal menderitakan lapar dan haus selama sebulan penuh, puasa tetap suatu kesenangan tersendiri. Derita lapar itu toh bukan Cuma dirasakan sendirian, tapi semua orang. Ya dewasa, ya anak-anak,” Berangkat dari Pesantren (26).  (Abdullah Alawi)



Terkait