Pusdeka UNU Yogyakarta Bedah Buku 'Dari Aborsi sampai Childfree: Bagaimana Mubadalah Berbicara?'
Senin, 14 Oktober 2024 | 15:30 WIB
Diskusi bedah buku ‘Dari Aborsi sampai Childfree: Bagaimana Mubadalah Berbicara?’ di Ruang Pre Funtion Hall lantai 5 UNU Yogyakarta, pada Jumat (11/10/2024). (Foto: dok. istimewa)
Yogyakarta, NU Online
Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga (Pusdeka) Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta bekerja sama dengan Muslimat NU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Yogyakarta mengadakan bedah buku Dari Aborsi sampai Childfree: Bagaimana Mubadalah Berbicara? di Ruang Pre Funtion Hall lantai 5 UNU Yogyakarta, pada Jumat (11/10/2024).
Bedah buku ini menghadirkan Faqihuddin Abdul Kodir sebagai penulis buku, Akademisi UIN Sunan Kalijaga Ema Marhumah, dan Ahmad Ghozi Ahmad Nurul Islam dari LKKNU Yogyakarta.
Sebanyak 90 peserta dari berbagai elemen seperti dosen, mahasiswa, dan organisasi keagamaan hadir dalam agenda ini.
Direktur Pusdeka Rindang Farihah mengungkapkan bahwa isu yang diangkat dalam buku ini sangat penting untuk didiskusikan dan disosialisasikan. Hal inilah yang mendasari diadakannya bedah buku ini.
“Selama ini banyak isu-isu terkait perempuan seperti aborsi dan childfree hanya dilihat dari kacamata halal dan haram. Sementara situasi di lapangan tidak sesederhana itu. Kang Faqih memberikan perspektif baru pada banyak isu yang dituliskan dalam buku ini,” ujar Rindang.
Buku ini juga membahas berbagai tema yang banyak dibicarakan oleh masyarakat kontemporer seperti makna aurat, relasi perkawinan, adopsi anak, pernikahan tanpa wali dan saksi, membuka aib keluarga, istri sebagai kanca wingking, hingga dilema memilih ibu atau istri. Menurutnya, Kang Faqih memperkuat argumen pada tema-tema tersebut menggunakan teks-teks keagamaan yang otoritatif.
Baca Juga
Hukum Aborsi dalam Islam
Salah satu yang disoroti dalam diskusi ini adalah mengenai pembagian pekerjaan dalam rumah tangga yang kerap menimbulkan polemik.
Kang Faqih menuturkan bahwa pekerjaan semestinya tidak selalu dilihat dari penghasilan berupa gaji. Sebab mengurus rumah pun merupakan aktivitas yang harus diapresiasi sebagai sebuah pekerjaan.
“Mubadalah tidak mempermasalahkan siapa yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Yang penting pasangan tersebut saling memahami dan mengerti,” ucap Kang Faqih.
Ia mencontohkan ada banyak keluarga yang tulang punggung ekonominya merupakan istri. Jika hal tersebut memang merupakan kesepakatan pasangan suami istri, maka hal tersebut tidak menjadi masalah.
Baca Juga
Tren Childfree dalam Pandangan Islam
Ema Marhumah menyoroti data yang menunjukkan peningkatan pekerja istri di Indonesia. Saat ini ada sekitar 30-35 persen istri yang bekerja. Angka ini bisa dibaca dari dua sisi. Positifnya, ada banyak perempuan yang berdaya.
Namun di sisi lain, jika pemahaman masyarakat masih menganggap pencari nafkah harus suami, hal ini bisa menyebabkan banyaknya kasus perceraian. Apalagi ada banyak suami yang tidak berpenghasilan dengan berbagai alasan.
“Untuk itu mari kita sosialisasikan mubadalah ke lebih banyak orang,” ajak Ema.
Baginya, perspektif mubadalah adalah jawaban dari fenomena sosial yang membuka ruang bagi laki-laki dan perempuan untuk berbagi peran publik dan domestik.
Hal senada disampaikan oleh Ahmad Ghozi yang menambahkan bahwa di LKKNU, konsep mubadalah menjadi fondasi bangunan gerakan.