Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) genap berusia 58 tahun pada Kamis, 15 Februari 2024, kemarin. Ia lahir di Rembang, Jawa Tengah pada 15 Februari 1966 dari pasangan KH Cholil Bisri dan Nyai Hj Muchsinah.
Jauh sebelum menjadi Ketua Umum PBNU, tepatnya 40 tahun silam, Gus Yahya menulis tentang hari lahirnya yang ke-18. Saat itu, ia tengah mesantren di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta sekaligus belajar di SMA Negeri 1 Yogyakarta.
Dalam tulisannya, Gus Yahya merasa hidupnya seperti ayam kampung, tidak memiliki tujuan apa-apa. "Selama ini aku hidup hanya seperti ayam kampung. Artinya: hidup tanpa motivasi dan arah. Selama ini aku tak tahu hidup itu untuk apa," tulisnya dalam Kolom Kita dengan judul "Lilin Ulang Tahun" yang diunggah dalam Instagram pribadinya, @yahyacholilstaquf, Jumat (16/2/2024).
Saat itu, Gus Yahya merasa bahwa hidup pada saat itu hanyalah rutinitas belaka. Hal tersebut tidak lebih dari sekadar menghela nafas, tidur, makan, berbicara dengan orang lain, serta memikirkan keinginan-keinginan sederhana yang ia anggap remeh. Karenanya, di usianya saat itu, ia merasa hidup tidaklah bergairah mengingat tidak ada yang hendak dituju, tidak ada arah.
Namun, Gus Yahya terkesiap sadar, bahwa dirinya harus membuat serangkaian rencana hidupnya. Baginya, hari ini tidak sekadar berarti sebagai waktu yang sedang berlangsung, tetapi juga memiliki kandungan terhadap waktu yang akan tiba kelak nanti.
"Hari ini tidak hanya berarti hari ini, tetapi ia juga berarti hari esok, lusa, dan seterusnya," tulis Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.
Oleh karena itu, ia menekadkan dirinya bahwa tindakan yang dilakukan di hari ini memiliki pengaruh terhadap kondisi dan cita yang dituju di masa yang akan datang. "Yang dilakukan hari ini bukan hanya menerima atau menghadapi kenyataan, melainkan menciptakan kenyataan yang menunjang cita-cita," catatnya.
"Aku tidak boleh hanya menyediakan harapan-harapan untuk hari esok, tapi terlebih dari itu dan terpenting adalah rencana. Ya, rencana," tulis Gus Yahya yang saat itu masih berusia 18 tahun itu.
Hal tersebut mengingatkannya pada perkataan pamannya yang pernah ia lupakan, "Buatlah rencana hidup," dan "Tentukan target pada tiap tahap hidupmu. Bangkitkan keinginanmu mengenal suatu idealisme. Bikinlah rencana matang. Dengan begitu kita tidak akan schok atau frustrasi menghadapi segala keadaan baru."
Refleksi tersebut keluar manakala ia melihat album dan menemukan potretnya saat masih bayi. Lalu, ia melihat ke cermin yang menunjukkan bentuk fisiknya yang jauh berubah dengan 'garis-garis lukisan hidup' di wajahnya.
"O, aku telah laki-laki. Bayi itu, si kecil itu, kini laki-laki. Dan itu membuatku terhenyak. Aku merasa tua dan lelah tiba-tiba. Belum pernah aku membayangkan akan menjadi begini lebih tua dari waktu-waktu lampau," tulisnya.
Hal itulah yang kemudian membuat kesadarannya tumbuh sekaligus resah karena merasa telah 'tua', tetapi belum melakukan apa-apa. "Waktu-waktu terlintas tergesa dan sia-sia di tanganku. Tak terperikan maluku pada diri sendiri, terlebih pada Tuhan," catat Gus Yahya.