Reformasi Polri Harus Didorong sebagai Institusi Sipil yang Profesional
Kamis, 9 Oktober 2025 | 10:30 WIB
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Forum insan Cita)
Jakarta, NU Online
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menegaskan pentingnya reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) agar menjadi institusi sipil yang profesional, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik.
Yusril membahas arah reformasi kelembagaan negara, termasuk rencana Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk Komite Reformasi Kepolisian. Ia berharap inisiatif tersebut menjadi langkah konkret memperkuat tata kelola dan akuntabilitas Polri di masa mendatang.
“Sehubungan dengan keinginan dari Presiden Prabowo Subianto yang sejak beberapa waktu lalu telah menggaungkan perlunya dilakukan reformasi di tubuh komposisi negara Republik Indonesia,” kata Yusril dikutip NU Online dari kanal Youtube Forum Insan Cita Kamis (9/10/2025).
Ia menjelaskan, komite yang tengah disiapkan Presiden itu diharapkan dapat mulai bekerja dalam waktu dekat untuk memberikan masukan dan rekomendasi bagi pemerintah dalam melaksanakan reformasi internal di berbagai lembaga negara, termasuk kepolisian.
“Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama pada pertengahan bulan Oktober ini, Komisi Komposisi Negara Republik Indonesia itu sudah dapat bekerja untuk beberapa bulan seperti yang dikatakan oleh Pak Presiden,” ujarnya.
Yusril menilai langkah Presiden membentuk Komite Reformasi Kepolisian sejalan dengan inisiatif internal Polri yang telah lebih dulu membentuk Komisi Transformasi Reformasi Internal Polri.
Menurutnya, kedua komisi tersebut dapat saling melengkapi dalam menginventarisasi berbagai permasalahan dan merumuskan langkah perbaikan yang realistis.
“Kapolri juga sudah membentuk sebuah komisi yang disebut dengan Komisi Transformasi Reformasi Internal Polri yang diharapkan menghimpun berbagai inventarisasi masalah di internal kepolisian. Hasilnya nanti bisa menjadi bahan masukan bagi Komisi Reformasi Kepolisian yang dibentuk Presiden,” terangnya.
Yusril mengingatkan bahwa reformasi kepolisian memiliki akar sejarah panjang sejak masa awal reformasi politik Indonesia. Ia menjelaskan bahwa pemisahan Polri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan hasil perjuangan untuk menegaskan fungsi kepolisian sebagai aparat sipil.
Menurut Yusril, perubahan besar itu dimulai pada masa Presiden B.J. Habibie, ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan dua Ketetapan penting, yaitu TAP MPR Nomor VI dan Nomor VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Peran TNI dan Polri.
Kedua ketetapan ini kemudian menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Undang-undang itu menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum,” jelasnya.
Yusril menegaskan bahwa Polri memiliki fungsi yang sangat berbeda dari TNI, baik secara struktural maupun institusional. “Polisi sebenarnya bertugas sebagai alat negara untuk menjaga kamtibmas dan melindungi masyarakat. Jadi, sangat berbeda fungsi kepolisian dengan fungsi TNI,” ungkapnya.
Sebagai tindak lanjut dari pemisahan itu, Polri ditetapkan sebagai institusi sipil yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Hal ini, kata Yusril, menandai babak baru bagi Polri untuk bertransformasi menjadi lembaga penegak hukum yang profesional dan berorientasi pada pelayanan publik.
“Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi satu institusi sendiri dengan tugas yang diatur oleh UUD 1945, dan pertanggungjawaban kepolisian adalah langsung kepada Presiden Republik Indonesia,” pungkasnya.