Nasional

Respons Akademisi soal Pembentukan Badan Penyelenggara Haji, Singgung Peran Ditjen PHU dan BPKH

Rabu, 23 Oktober 2024 | 13:00 WIB

Respons Akademisi soal Pembentukan Badan Penyelenggara Haji, Singgung Peran Ditjen PHU dan BPKH

Ilustrasi jamaah sedang tawaf. (Foto: NU Online/Faizin)

Jakarta, NU Online

Presiden RI Prabowo Subianto membentuk Badan Penyelenggara Haji (BPH) di luar Kementerian Agama (Kemenag). Badan ini nantinya akan secara khusus menangani persoalan penyelenggaraan haji dan umrah.


Prabowo kemudian melantik Penasihat Khusus Presiden Urusan Haji Prof Muhadjir Effendy dan Kepala BPH KH Moch Irfan Yusuf beserta Wakil Kepala BPH Dahnil Anzar Simanjuntak di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Selasa (22/10/2024) lalu


Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mustolih Siradj merespons soal dibentuknya BPH oleh Prabowo Subianto.


Ia menilai, Kemenag melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah serta Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pada era Presiden Joko Widodo belum menjawab perubahan kebijakan yang dilakukan Arab Saudi melalui Visi Putra Mahkota Muhammad Bin Salman (MBS) 2030, yaitu pemasukan negara dari sektor nonminyak.


"Sederhananya, Arab Saudi pada 2030 dan seterusnya tidak mau bergantung pemasukan ke negara dari minyak, karena minyak itu sumber daya yang tidak bisa diperbaharui, ada batas, sehingga suatu saat habis minyak itu," kata Mustolih, kepada NU Online, Rabu (23/10/2024).


Karena itu, Pemerintah Arab Saudi sangat menggenjot sektor pariwisata, termasuk haji dan umrah. Hal ini berefek pada pengelolaan haji di Arab yang tak lagi memakai pemerintahan, melainkan lewat swasta sehingga berdampak adanya praktik komersialisasi haji dan umrah dengan orientasi keuntungan uang semata.


Di sisi lain, Mustolih menjelaskan bahwa Indonesia untuk persoalan haji masih dipegang oleh Kemenag sebagai pemerintah, sehingga tak selaras dengan kebijakan Arab Saudi. Karena itulah, dibentuk BPH yang tidak berbentuk kementerian.


Ia juga menilai Kemenag selama ini memerankan tiga hal sekaligus dalam tata kelola haji yaitu sebagai regulator, pengawas, dan operator atau penyelenggara.


"Dalam konteks tata kelola kurang pas, sehingga selama ini stigma itu yang disampaikan seolah-olah Kementerian Agama ini memonopoli haji, isunya begitu selama ini. Walaupun saya tidak sependapat dengan itu, tapi itu penilaian publik," jelas Ketua Komnas Haji dan Umrah itu. 


"Ini yang kemudian hendak dirancang dan hendak disederhanakan dan dibuat simpel menjadi Badan Haji. Berarti dengan demikian, nanti Direktorat Jenderal PHU akan keluar dari Kementerian Agama," tambahnya.


Menurut Mustolih, BPH bukan mengambil peran serta tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari Ditjen PHU Kemenag dan BPKH. Sebab jika hanya seperti itu, maka nantinya BPH akan terjebak pada persoalan-persoalan teknis.


"Tetapi (BPH) juga meleburkan kewenangan yang diberikan selama ini kepada BPKH. Tidak apa-apa. BPKH itu kan mengelola penerimaan pendaftaran, mengelola dan menginvestasikan dana haji yang jumlahnya hari ini Rp168 triliun. Kalau ini dipecah dua, ada badan (BPKH) dan penyelenggara haji (BPH), maka justru untuk membuat lembaga ini lebih efisien, lebih sederhana dan lincah tidak akan tercapai," jelasnya.


Mustolih mengusulkan kepada BPH untuk meleburkan peran BPKH dan Ditjen PHU karena terdapat disharmoni di antara kedua lembaga itu, yakni adanya egosektoral soal Biaya Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH).


"Di satu sisi, uangnya dipegang oleh BPKH tapi ketika membicarakan BPIH itu hanya dilibatkan memiliki decision maker itu adalah DPR Komisi 8 dengan Kemenag, BPKH hanya juru bayar saja, kasirnya. Ini tidak baik," jelasnya.


Peleburan itu, kata Mustolih, sangat penting dilakukan untuk menjaga marwah wibawa Badan Penyelenggara Haji. Tujuannya agar ketika berdiplomasi dengan negara-negara luar, khususnya Arab Saudi, punya kepercayaan diri.


"Jadi, dia (BPH) tidak hanya memindahkan peran-peran (Ditjen) PHU yang teknis, tapi juga punya anggaran yang jumlahnya besar sekali: Rp186 triliun," terangnya.