Saat Kiai Afifuddin Muhajir Jadi Penengah Perdebatan soal Konsep Menolong Kemaksiatan
Selasa, 19 September 2023 | 08:45 WIB
Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir saat Sidang Komisi Bahtsul Masail Munas Konbes NU di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Senin (18/9/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) membahas konsep al-i'anah alal ma'shiyah atau menolong kemaksiatan, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada Senin (18/9/2023).
Sidang Komisi dipimpin oleh Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah KH Moqsith Ghazali, didampingi Gus Aniq Nawawi, Gus Aunullah A'la Habib, dan KH Cholil Nafis.
Gus Aniq Nawawi memulai sidang dengan membacakan deskripsi masalah bahwa kerja sama lintas batas sudah terjadi sejak lama, dan di kehidupan modern ini kerja sama tersebut semakin tak bisa dihindarkan. Misalnya fenomena Muslim yang bekerja kepada Non-Muslim atau bekerja di perusahaan produsen barang-barang haram.
Sementara Kiai Moqsith menjelaskan bahwa manusia hidup di dunia modern yang tak hanya diisi oleh komunitas yang eksklusif; hanya orang Islam dan mengonsumsi barang-barang halal. Negara-negara di dunia pun tak sepenuhnya berpenduduk Muslim.
Prof Machasin, sebagai salah satu peserta menanggapi deskripsi permasalahan yang memuat contoh al-i'anah alal ma'shiyah adalah membantu atau memfasilitasi pendirian rumah ibadah agama lain.
"Apakah semua Non-Muslim dianggap maksiat?" tanya Prof Machasin.
Kiai Moqsith sebagai pimpinan sidang menanggapi bahwa bahtsul masail di komisi maudlu'iyah sebaiknya menghindari contoh-contoh agar tak membahas hukum pada persoalan furu' (cabang keagamaan). Ia lagi-lagi mengarahkan agar pembahasan fokus pada konsep al-i'anah alal ma'shiyah.
Katib PWNU Jawa Timur KH Ramadhan Khotib justru menyetujui apabila di deskripsi terdapat banyak contoh. Menurutnya, jika menghendaki pembahasan untuk merumuskan konsep maka Contoh-contoh itu menjadi penting. Sebab berkaitan dengan relasi langsung antara Muslim dan Non-Muslim.
Kiai Moqsith kembali menegaskan bahwa Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah tidak akan memutuskan hukum, meski di dalam deskripsi dicantumkan contoh-contoh.
"Kita tidak sendiri di dunia yang fana ini. Yang ditanyakan bukan membangun gerejanya tapi bagaimana dan apa itu al-i'anah alal ma'shiyah?" jelas Kiai Moqsith.
Rumadi Ahmad sebagai peserta sidang mengingatkan, apabila pembahasan terpaksa memberikan contoh sehingga menimbulkan persoalan furu' maka tetap harus mengacu pada putusan muktamar, sehingga tak menganulir putusan di dalam forum permusyawaratan tertinggi pada masa-masa sebelumnya.
Kemudian Prof Machasin mengemukakan bahwa salah satu contoh al-i'anah alal ma'shiyah adalah diam saat melihat kemaksiatan. Sebagai contoh, berkuasanya Taliban adalah karena ulama modernitas di Afghanistan diam. Sikap diam ini disebut sebagai assukutu 'anil ma'shiyah.
"(Assukutu 'anil ma'shiyah) itu mestinya dimasukkan terutama di dalam masa kita yang sangat bebas ini, maka perlu melindungi masyarakat kita dari sukut anil mashiyah. Contohnya, diam-diam terhadap praktik korupsi," kata Prof Machasin.
Contoh yang disebutkan Prof Machasin itu, kata Kiai Moqsith, sudah muncul di Pra-Munas. Al-i'anah alal ma'shiyah bisa dilakukan oleh individu, korporat atau perusahaan, dan negara atau pemerintah.
"Misalnya negara yang memfasilitasi adanya lokalisasi dan perjudian. Itu muncul di dalam percakapan pra-Munas. Kemaksiatan apa yang bisa difalisitasi negara? Ini muncul dalam pra-Munas," jelas Kiai Moqsith.
Penjelasan Kiai Afifuddin Muhajir
Di tengah perdebatan soal rumusan konsep al-i'anah alal ma'shiyah itu, Wakil Rais 'Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir memberikan penjelasan. Ia menjadi penengah atas perdebatan mengenai konsep al-i'anah alal ma'shiyah.
Menurut Kiai Afif, al-i'anah alal ma'shiyah tidak bisa dilepaskan dari maksiat itu sendiri. Maksiat itu terwujud karena meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram.
"Karena tidak melakukan sesuatu yang wajib orang itu maksiat berarti tidak taat, atau karena dia melakukan sesuatu yang haram maka terwujud lah maksiat," kata Kiai Afif.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa al-i'anah alal ma'shiyah adalah setiap tindakan yang mengantarkan pada kemaksiatan. Terdapat dua konsep mengenai hal itu.
Pertama, setiap tindakan yang dia sendiri adalah perbuatan maksiat. Kedua, perbuatan yang pada dasarnya bukan maksiat akan tetapi mengantarkan pada maksiat.
"Perbuatan yang meskipun pada dasarnya tak maksiat tapi mengantarkan kepada maksiat menjadi maksiat," kata Kiai Afif.
Selanjutnya, sarana al-i'anah alal ma'shiyah ada kalanya memang langsung melahirkan maksiat. Sebagai contoh, menjual senjata dalam kondisi tertentu. Ada juga sarana yang tidak langsung melahirkan maksiat, salah satunya menjual anggur.
Sebab, kata Kiai Afif, anggur tidak serta-merta melahirkan maksiat, tetapi agar menjadi sarana maksiat maka anggur itu harus diolah sehingga menjadi minuman keras.
Kiai Afif juga menjelaskan bahwa al-i'anah alal ma'shiyah dibagi menjadi dua, yakni pasif dan aktif. Akan tetapi kalau pasif, Kiai Afif memasukkan ke dalam kategori assukutu 'anil munkar.
Sebagai pembanding, Rais Syuriyah PBNU KH Musthofa Aqil Siroj memberikan contoh terkait al-i'anah alal ma'shiyah. Misalnya suatu ketika PBNU menginstruksikan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) ke Kota Sorong untuk menjaga agar wilayah di sana aman. Padahal, Sorong adalah daerah yang terdapat banyak gereja.
"Karena di Sorong banyak gereja apakah Banser dianggap al-i'anah alal ma'shiyah? Menurut saya tidak. Karena di sana juga ada pasar, misalnya, yang harus dijaga," kata Kiai Musthofa.
Sementara itu, Kiai Moqsith menerangkan bahwa konsep al-i'anah alal ma'shiyah akhirnya dikerucutkan kepada sebuah kemaksiatan yang disepakati oleh jumhur ulama. Contohnya, zina. Semua ulama sepakat bahwa zina adalah maksiat.
"Kita dorong kemaksiatan yang dikonsensuskan oleh para ulama," jelas Kiai Moqsith. Ia lalu menanyakan kepada peserta sidang, apakah setuju atas konsep ini? Peserta sidang menjawab setuju. Palu sidang diketuk tanda setuju dan sidang selesai.
Berbeda dengan tahlilan yang bersifat furu'. Menurut pemahaman kelompok Salafi-Wahabi, kata Kiai Moqsith, tradisi tahlilan adalah bagian dari kemaksiatan, sehingga tradisi tahlilan masih bersifat diperselisihkan.
"Kita dorong kemaksiatan yang dikonsensuskan oleh para ulama," jelas Kiai Moqsith. Ia lalu menanyakan kepada peserta sidang, apakah setuju atas konsep ini? Peserta sidang menjawab setuju. Palu sidang diketuk tanda setuju dan sidang selesai.