Nasional

Saat Kiai Sahal dan Imam Malik Menolak Formalisasi Hukum Fiqih

Selasa, 15 Januari 2019 | 08:45 WIB

Saat Kiai Sahal dan Imam Malik Menolak Formalisasi Hukum Fiqih

Mbah Sahal Mahfudh

Jakarta, NU Online
Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014 KH Sahal Mahfudh pernah secara terus terang tidak sepakat dengan formalisasi fiqih menjadi undang-undang atau hukum positif negara. Pernyataan itu ditulis dalam buku Nuansa Fiqih Sosial dan disampaikan pada setiap ceramah di berbagai kesempatan.

Demikian diungkapkan Cendekiawan Muda NU Ulil Abshar Abdalla dalam kesempatan diskusi dengan tema Kontekstualisasi Fiqih dari Era Klasih Hingga Era Kontemporer, di Ngopi Santri Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Setu, Kabupaten Bekasi, Ahad (13/1).

Kiai Sahal berpendapat bahwa fiqih adalah terjemahan konkret dari syari’at. Kemudian fiqih menjadi landasan kehidupan orang Islam sehari-hari, bukan undang-undang yang dipaksakan negara.

“Karena ketika fiqih menjadi undang-undang yang dipaksakan negara, fiqih tidak akan menjadi nilai yang secara sukarela dihidupi dan dilaksanakan oleh masyarakat,” terang mantan Ketua Lakpesdam PBNU ini.

Sebab saat fiqih diformalisasi yang kemudian dipaksakan negara, lanjut Gus Ulil, justru akan menimbulkan masalah. Seseorang bakal mengikuti ajaran fiqih bukan karena keikhlasan yang timbul dari dalam dirinya. Akan tetapi karena paksaan polisi negara.

“Sesuatu yang akan timbul nantinya seperti di Saudi. Orang salat karena takut diawasi polisi negara," jelas menantu KH Mustofa Bisri.

Padahal, lanjut Gus Ulil, fiqih adalah soal seorang yang mau belajar dan melaksanakan salat karena memang ada keinginan. Bukan karena ada polisi yang akan menggebuk kalau-kalau tidak salat.

Lantas, apakah menentang formalisasi syari’at itu ada contohnya di dalam sejarah Islam? Gus Ulil menjawab, ada. “Bahwa ada satu momen dalam sejarah Islam awal ketika Imam Malik menolak usulan dari Khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Mansur untuk menjadikan Kitab Muwaththa’ sebagai undang-undang negara,” jelas pria yang menempuh program doktoral di Universitas Boston, Massachusetts, Amerika Serikat ini.

“Artinya, Imam Malik ini punya otoritas besar untuk mengoleksi hadits karena beliau hidup di Madinah bersama para sahabat dan tabi’in yang pernah menyaksikan Kanjeng Nabi. Maka sebagian ulama mengatakan bahwa Muwaththa’ lebih sahih dari hadits Bukhori-Muslim,” kata Gus Ulil.

Kitab Muwaththa’ ini luar biasa, ditulis dengan proses panjang, yakni selama 14 tahun. Karenanya Khalifah Abbasiyah ingin karya Imam Malik itu menjadi undang-undang atau hukum positif negara. Namun, Imam Malik menolak.

“Ini kan kitab karanganku, saya tidak tahu ini benar atau tidak. Ini kan hasil usahaku. Memang ini kumpulan hadits nabi, tapi tetap saja ini usahaku. Belum tentu ini kalau dipaksakan menjadi hukum negara, semua orang setuju,” kata Gus Ulil menerjemahkan ungkapan Imam Malik yang menolak kitabnya dijadikan landasan hukum negara.

Sejak dulu, kecenderungan para fuqoha itu tidak suka fiqih diformalisasikan menjadi hukum positif negara. Fiqih itu bukan dipaksakan negara. Fiqih adalah nilai yang dilakukan secara sukarela oleh masyarakat, didakwahkan melalui pengajian kepada para santri dan murid.

Jadi, menurut Gus Ulil, kalau ingin membuat masyarakat bersyari’at secara sungguh-sungguh bukan melalui undang-undang. Akan tetapi bangunlah pondok pesantren sebanyak-banyaknya mendakwahkan fiqih kepada orang, agar hidup sesuai fiqih secara sukarela.

“Makanya Kiai Sahal dalam buku Nuansa Fiqih Sosial menolak formalisasi fiqih menjadi hukum negara dan ingin menjadikan fiqih sebagai etika sosial,” pungkas pria yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah di bawah asuhan Kiai Sahal ini. (Aru Elgete/Ahmad Rozali)


Terkait