Nasional

Sambutan Lengkap Gus Yahya dalam Acara Sarung Santri Nusantara

Selasa, 24 Oktober 2023 | 14:30 WIB

Sambutan Lengkap Gus Yahya dalam Acara Sarung Santri Nusantara

"Sarung adalah bukti kesinambungan sejarah dan ketersambungan kawasan peradaban yang sangat luas," kata Ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf saat acara Sarung Santri Nusantara, Sabtu (21/10/2023). (Foto: NU Online)

Surabaya, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Tsaquf atau Gus Yahya didaulat memberi sambutan dalam acara 'Sarung Santri Nusantara' di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (21/10/2023) malam. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Hari Santri 2023 bertajuk Jihad Santri, Jayakan Negeri yang puncaknya digelar pada esok harinya, Ahad 22 Oktober 2023.


Dalam acara ini, Gus Yahya tampil dengan memakai peci hitam, kaca mata, baju putih, bawahan sarung batik warna cokelat, dan sendal jepit hitam. Di pergelangan tangan kirinya juga tampak mengenakan jam tangan analog.


Berikut adalah transkrip lengkap sambutan Gus Yahya dalam acara tersebut.


Assalamu'alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.


Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu ‘ala Rasūlillāh Sayyidina wa Maulana Muhammad ibni Abdillah, wa ‘ala ālihi wa shahbihi wa man wālāh, amma ba’ad.


Yang saya hormati, Menteri PAN-RB Pak Abdullah Azwar Anas. Yang saya hormati, Menteri Agama RI Pak Yaqut Cholil Qoumas, dan istrinya. Yang saya hormati, Wakil Menteri Agama Pak Saiful Dasuki, beserta istri. Yang saya hormati, Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bapak ‘Muhammad’ Saifullah Yusuf. Yang saya hormati, Pak Sekda. Ini hadir juga, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bapak ‘Muhammad’ Said Husni. Tadinya memang Amin Said Husni, tapi Amin-nya dihapus, diganti Muhammad. [Hadirin tertawa].


Bapak Ibu yang saya hormati.
Alhamdulillah. Malam Sarung Nusantara ini adalah salah satu bentuk kegembiaraan kita, syukur kita akan jejak dari perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan segala-galanya demi tegaknya Negara Proklamasi, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini, yang telah kita rasakan berkahnya sampai generasi ini. Dan insyaallah, mudah-mudahan, akan terus membawa berkah yang semakin besar untuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Amin ya rabbal ‘ālamin.


Bapak Ibu yang saya hormati.
Sarung ini telah menjadi tradisi yang dianggap melekat kepada santri. Di mana-mana santri-santri bersarung, kiai-kiai bersarung. 


Kita yang tinggal di lingkungan pesantren pesantren di Nusantara ini mungkin menganggapnya sebagai sesuatu yang given, sesuatu yang ada begitu saja tanpa kita pikirkan bagaimana asal mula dan maknanya.


Bapak Ibu yang saya hormati, dan para santri Nusantara, baik yang hadir di sini maupun yang menyaksikan melalui tayangan streaming.


Sarung ini adalah bukti dari kesinambungan sejarah dan ketersambungan kawasan peradaban yang sangat luas. Kalau di Indonesia yang mayoritas Muslim ini santri-santri dan kiai-kiainya bersarung, maka mari kita lihat bahwa masyarakat India yang Hindu, orang-orangnya juga bersarung. Masyarakat Myanmar yang Budha, orang-orangnya juga bersarung.


Ini bukti bahwa sarung merupakan penyambung dari sekian banyak masyarakat yang heterogen di dalam suatu kawasan peradaban yang luas sekali. Dan ini juga berarti kita menyadari bahwa sarung itu sudah dipakai orang di Nusantara ini bahkan sejak sebelum Islam dikenal di sini. Ini berarti bahwa walaupun masyarakat Nusantara telah menjadi mayoritas Muslim, tetapi sarung tetap menjadi bagian dari tradisi kehidupan budayanya.

 
Itu juga berarti bahwa, pertama, sejarah peradaban Nusantara ini terus bersambung dari zaman ke zaman. Walaupun pada suatu masa ini adalah wilayah yang, misalnya, pada zaman Sriwajaya sangat diwarnai oleh tradisi Budha, dan sekarang telah menjadi masyarakat Muslim, tetapi karakter budayanya tidak berubah. Dan saya kira ini adalah modal yang menjadikan santri Nusantara ini selamat dari gonjang-ganjing sejarah global yang telah menimbulkan berbagai kesulitan di tempat lain. Ini juga satu hal yang perlu kita syukuri.


Dan mengingat pentingnya makna sarung ini, dan vitalitas budayanya, saya kira tidak ada yang lebih ulet dalam vitalitas budayanya melebihi sarung. Celana panjang itu modelnya berubah-ubah.


Saya ingat dulu waktu saya remaja, ada tren celana cutbray, yang bawahnya lebar sekali. Kemudian berubah menjadi tren celana yang bawahnya ciut. Belakangan ini ada yang ingin mempopulerkan model celana cingkrang, misalnya. Jadi bisa berubah-ubah, celana panjang ini. Tapi sarung, dari zaman kuno sampai sekarang, bentuknya sama. Cuma tinggal motifnya tergantung pada kreatifitas budaya di dalam seni tenun dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Ini berarti sarung punya vitalitas budaya yang ulet sekali.


Mungkin juga karena sarung itu serbaguna: bisa dipakai shalat isya, dipakai kemulan (berselimut) bisa, dipakai menjaring ikan juga bisa.


Pendek kata, Bapak Ibu sekalian dan para santri yang saya cintai, marilah kita semua mensyukuri nikmat-nimat agung yang telah dikaruniakan oleh Allah Swt kepada kita semua, kepada para santri, kepada bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Dan semoga perlindungan, bimbingan, petunjuk Allah senantiasa menaungi kita semua masa depan yang lebih gilang gemilang. Amin yā rabbal ‘ālamīn.


Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharīq.

 

Wassalamu’alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.