Savic Ali Ungkap Pentingnya Pahami Literasi Digital agar Tidak Jadi Korban
Sabtu, 23 September 2023 | 20:00 WIB
Ketua PBNU Savic Ali saat menjadi pemateri pada Seminar Moderasi Beragama dan Orientasi Mahasiswa Baru Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlangsung di Auditorium Harun Nasution, Sabtu (23/9/2023). (Foto: NU Online/Malik Ibnu Zaman)
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) mengungkapkan pentingnya memahami literasi digital agar tidak menjadi korban keterpengaruhan negatif dari berbagai media digital.
Baca Juga
Literasi Digital untuk Generasi Milenial
"Penting untuk punya pemahaman tentang dunia digital, literasi digital agar kita tidak menjadi korban dari orang-orang yang menggunakan platform digital untuk mempengaruhi orang," ujarnya pada Seminar Moderasi Beragama dan Orientasi Mahasiswa Baru Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlangsung di Auditorium Harun Nasution, Sabtu (23/9/2023).
Ia menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan pikiran manusia seperti komputer yang bergantung pada perangkat lunak (software) yang dipasangnya. "Komputer tergantung softwarenya. Jika diisi dengan software yang bermasalah, maka akan bermasalah juga. Kalau kita diisi dengsn software yang bermasalah, kelakuan kita juga bermasalah, manusia juga tergantung softwarenya," imbuhnya.
Ia mengungkapkan, di era digital banyak orang mendapatkan informasi keagamaan dari internet. Namun, permasalahannya banyak yang tidak bisa membedakan mana yang benar-benar ustadz, mana yang bukan. Hal ini menjadi faktor orang salah berguru dan belajar.
"Internet ini lanskap yang terbuka, siapapun bisa ngomong. Bahkan ada sejumlah kasus orang ternyata baca Qur'an aja nggak fasih, nggak tartil. Orang-orang yang tidak bisa membedakan ini seringkali salah guru, salah belajar, dan itu yang membuat orang-orang ini kemudian memiliki pandangan yang agak ekstrem.
Savic mencontohkan munculnya pemahaman bahwa orang yang memiliki keyakinan berbeda sebagai musuh yang bukan saja tidak boleh ditemani, tetapi bahkan diperangi. Hal ini tentu saja bertentangan mengingat Rasulullah saw sendiri berkawan dan menjalin kehidupan yang harmonis dengan masyarakat non-Muslim di Madinah.
"Misalnya orang yang berbeda agama itu dianggap sebagai musuh atau tidak boleh ditemani. Padahal sejak zaman Rasulullah, Madinah penduduknya bukan hanya Muslim, penduduknya beragam," terangnya.
Lebih lanjut, Savic mengungkapkan bahwa masa depan Indonesia dipengaruhi oleh kondisi umat Muslim di Indonesia. Pasalnya, 87 persen rakyat Indonesia adalah Muslim.
"Jika umat Muslimnya berpikir terbuka, toleran, moderat, progresif, cinta pengetahuan Indonesia akan maju. Tetapi jika umat muslimnya sempit, tertutup, ultra konservatif apalagi ekstrem kita sulit membayangkan Indoneia akan maju. Jadi Indonesia pada dasarnya sudah berada di track yang benar, tetapi sayangnya masih ada sebagian kecil orang yang punya ide-ide radikal, ekstrem," terangnya.
"Orang yang terpapar itu backgroundnya macam-macam, ada yang dari keluarga religius, ada yang dari keluarga sekuler. Artinya pada dasarnya, siapapun bisa terpapar kalau dia tidak punya pemahaman yang memadai di era internet, jadi kita punya sejumlah orang yang terpapar. Kita harus punya semacam anti virus hidup di dunia digital ini, kita harus punya pemahaman yang utuh untuk menjadi pelindung atau antivirus bagi kita. Sehingga ketika ada gagasan yang radikal, eksetrem yang bertentangan dengan gagasan keindonesiaan kita tidak mudah terpapar oleh hal tersebut," pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama, Anis Masykur mengungkapkan tentang karakter moderat, yaitu karakter yang diajarkan oleh ulama yang dikemas dalam nomenklatur yang mudah dipahami.
"Intinya Moderasi beragama yang perlu kita pahami, kita harus memiliki perspektif moderat, maka sejak awal harus dipahami. Bahwasanya seluruh agama berpotensi mempengaruhi pemeluknya untuk tidak berperilaku moderat," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa moderasi beragama merupakan cara pandang, cara berpikir, dan cara bersikap yang tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan. "Moderasi beragama adalah cara beragama yang elegan, tidak ke kanan, tidak ke kiri," pungkasnya.