Jakarta, NU Online
Dari sisi keberagamaan, amaliyah NU telah dibidahkan sejak lama. Kurang lebih 120 tahun silam. Amalan kaum Nahdliyin tak hanya dikafirkan, namun juga disebut TBC (Takhayul, Bidah, Churafat). Oleh karena itu, momen peringatan Harlah ke-96 NU ini kita perlu sadari sejarah kelam tersebut.
Wakil Ketua Umum PBNU Prof DR HM Maksum Machfoedz mengatakan hal itu saat menyampaikan sambutan di hadapan kaum Nahdliyin yang memadati halaman gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Jalan Kramat Raya No 164 Jakarta Pusat, Sabtu (23/3).
"Jadi, di forum ini kita harus tahu apa yang kita peringati. Nah, kalau dalam Munas NU kemarin ada salah satu rumusan jangan memakai istilah kafir, kita sebenarnya sudah merasakan sakitnya dikafir-kafirkan,” ujar Kiai Maksum.
Suatu ketika, saat dirinya bertemu dengan seorang pemuka agama Katolik dilapori bahwa Romo tersebut dikafirkan oleh pihak tertentu. “Sum, saya ini mimpin Misa, mimpin doa, kok dikafir-kafirkan. Lha kok sampeyan to Romo, wong saya yang Wakil Ketua Umum PBNU aja dikafir-kafirkan kok,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Kiai Maksum, di era Hadratusy Syekh KH M Hasyim Asy’ari dan para pendiri NU masih muda juga mengalami nasib yang sama, yakni dikafir-kafirkan oleh pihak yang tidak suka dengan NU. “Itulah penjajahan keberagamaan,” tandas pria yang juga menjabat Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) ini.
Menurut guru besar UGM ini, Hadratusy Syekh dan para tokoh muda waktu itu juga merasa prihatin atas penjajahan yang kedua, yaitu penjajahan kebangsaan. “Penjajahan kebangsaan oleh pemerintah Hindia Belanda dan penjajahan keberagamaan oleh tetangganya sendiri. Lha kok kita hari ini dikafir-kafirkan lagi setelah 120 tahun,” geramnya.
Waktu itu, makam Rasulullah SAW pada 1920-an mau dibongkar oleh pemerintah Saudi. Inilah puncak keprihatinan para kiai muda dari Indonesia. Akhirnya, berdirilah NU sebagai payung organisasi bagi Komite Hijaz yang diutus ke Tanah Suci. “Jadi, 96 tahun yang lalu, NU didirikan sebagai respon atas penjajahan keberagamaan dan penjajahan kebangsaan itu,” tandasnya.
Wal hasil, sambung Kiai Maksum, berdirinya NU itu sebagai proteksi keagamaan dan kenegaraan. Intinya, jika NU tidak berdiri waktu itu, makam Rasulullah niscaya jadi dibongkar oleh pemerintah Saudi yang beraliran Wahabi.
“Kalau nggak ada NU, makam Nabi pasti hancur. Ngapain kita ke sana kalau nggak bisa menziarahi makam beliau,” pungkasnya. (Musthofa Asrori)