Jakarta, NU Online
Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan (asyhurul hurum) oleh Allah swt seperti dijelaskan di dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 yang menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”
Menurut Muhamad Abror dalam tulisannya di NU Online yang berujudul Sejarah Puasa Asyura dan Dakwah Adaptif Rasulullah Saw menjelaskan, maksud asyhurul hurum pada ayat tersebut ialah Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab.
Baca Juga
Rasulullah dan Puasa Asyura
Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib menjelaskan, alasan dinamakan al-hurum adalah karena berbuat maksiat pada bulan-bulan tersebut akan dibalas dengan lebih berat. Begitupun orang berbuat ketaatan, akan mendapat pahala berlipat.
Alasan Muharram dimuliakan adalah, karena di dalamnya terdapat hari Asyura. Dalam catatan sejarah, pada hari itu banyak terjadi peristiwa luar biasa, termasuk selamatnya Nabi Musa as dari kejaran pasukan Fir’aun. Sebagai bentuk syukur, Nabi Musa as berpuasa pada hari tersebut. Berikutnya, umat Yahudi mengikuti apa yang dilakukan nabinya itu, berpuasa setiap 10 Muharram.
Dikatakan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi, puasa 10 Muharram bagi umat Yahudi merupakan satu-satunya puasa yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. Jika umat Islam punya puasa Ramadhan, maka umat Yahudi punya puasa Asyura.
Sementara itu, menurut Syekh Musa Lasyin (wafat 2009 M) dalam kitabnya, Fathul Mun’im Syarhu Shahîh Muslim menjelaskan, puasa Asyura sudah dilakukan oleh orang-orang Arab Jahiliyyah Kota Makkah. Artinya, sebelum Rasulullah saw bertemu orang Yahudi di Madinah yang kebetulan saat itu mereka berpuasa ‘Asyura, terlebih dahulu puasa ini dilakukan oleh penduduk Makkah sebelum Islam.
Masih menurut Syekh Musa Lasyin, ada dua kemungkinan alasan orang Jahiliyyah berpuasa Asyura. Mengikuti syari’at Nabi Ibrahim as dengan tujuan memuliakan hari Asyura yang juga dibarengi dengan pemasangan kiswah untuk bangunan Ka’bah; atau sebagai penebus dosa-dosa yang telah dilakukan di masa Jahiliyyah. Mereka merasa sangat bersalah dan meyakini puasa ‘Asyura mampu meleburnya.
Kemudian, menurut penjelasan Syekh Muhammad bin ‘Abdul Baqi az-Zurqani (wafat 1710 M) dalam kitabnya Syarhu Mawâhibil Ladduniyyah dengan mengutip Imam al-Qurtubi, Nabi Muhammad berpuasa Asyura untuk meluluhkan hati orang Yahudi. Ini merupakan salah satu metode dakwah Nabi saw dalam mengajak Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk masuk Islam.
Dengan Nabi saw berpuasa Asyura, orang Yahudi akan berpikir, ternyata, syari’at Nabi Muhammad saw tidak jauh berbeda dengan syari’at nabi mereka, Musa as.
Dengan persepsi demikian, Yahudi tadi akan berkesimpulan, baik agama yang dibawa Nabi Musa as maupun Nabi Muhammad saw, keduanya memiliki ajaran, sumber, dan Tuhan yang sama (Allah swt).
Mereka luluh dan berikutnya lebih mudah diajak masuk Islam. Meskipun pada akhirnya, Nabi saw memerintahkan umat Islam untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a), agar tidak sama dengan Yahudi.