Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Kesiapsiagaan BNPB, Hadi Sutrisno saat mengisi Pelatihan Jurnalis Tangguh Bencana, Jumat (23/6/2023). (Foto: NU Online/Kendi Setiawan)
Jakarta, NU Online
Indonesia adalah salah satu negara dengan risiko tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, cuaca ekstrem, gempa bumi, dan tsunami. Data The World Risk Index tahun 2019 sebagaimana dirilis kemenkeu.go.id, Indonesia berada pada peringkat 37 dari 180 negara paling rentan bencana.
Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (BNPB), tingginya potensi bencana alam di Indonesia karena wilayahnya yang terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim, yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrem.
Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur.
Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.
Baca Juga
Kepala BNPB Apresiasi Kinerja NU Peduli
Selain itu, secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik.
Di bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatra, Jawa-Nusa Tenggara, Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor.
Data BNPB menyebutkan pada periode 1 Januari hingga 21 Juni 2023, terjadi total 1.797 bencana alam di Indonesia. Bencana alam terdiri dari 15 gempa bumi, 2 erupsi gunung berapi, 661 banjir, 607 cuaca ekstrem, 324 tanah longsor 324, 163 karhutla 163, 18 gelombang pasang dan abrasi, serta 7 bencana kekeringan.
Bencana tersebut mengakibatkan 156 orang meninggal dunia, 5.496 orang luka-luka, 8 orang hilang, 2.883.348 orang menderita dan mengungsi.
Dalam menghadapi bencana alam, sering kali masyarakat dibuat kalang kabut. Sebab, bencana alam memang terjadi secara mendadak. Akibatnya masyarakat sering gagal menyelamatkan diri.
Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Kesiapsiagaan BNPB, Hadi Sutrisno menekankan perlunya setiap orang untuk melakukan upaya pengurangan dan pencegahan risiko bencana alam. Salah satu yang perlu dilakukan adalah dengan penyiapan tas atau ransel siaga bencana.
“Tas siaga bencana disiapkan agar jika terjadi bencana secara mendadak, tas tersebut menjadi bekal penyelamatan pertama kali untuk dibawa pergi. Tas siaga bencana difungsikan sebagai penolong pertama penunjang kebutuhan hidup 72 jam pascabencana sebelum petugas pembawa bantuan datang,” kata Hadi Sutrisno saat kegiatan Pelatihan Jurnalis Tangguh Bencana di Jakarta Jumat (25/6/2023) lalu.
Adapun isi dari tas siaga bencana adalah:
1. Dokumen penting seperti Kartu Keluarga, polis asuransi, sertifikat tanah, dan surat berharga lain. Berkas tersebut disimpan dalam plastik kedap air. Hadi juga menegaskan untuk surat-surat berharga dipindai dan diunggah dalam disk penyimpanan pribadi seperti Google Drive dan iCloud.
“Hal ini bertujuan jika terjadi bencana mendadak dan jika surat fisik rusak. Surat-surat dapat diselamatkan karena ada salinan online-nya,” ujar Hadi.
2. Pembekalan seperti air minum kemasan, P3K, pakaian ganti, dan senter. Untuk makanan kemasan, dilakukan pengecekan berkala pada untuk mengetahui masa kedaluwarsa.
3. Uang tunai, pisau lipat, alat tulis, jas hujan, tali nilon, peta, ponsel, charger dan power bank.
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori