Jakarta, NU Online
Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Saiful Umam mengatakan, faktor penghasilan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi intoleransi dan radikalisme di kalangan guru di Indonesia.
“Semakin rendah penghasilan semakin tinggi opini (F=3,390, p=0,009) dan intensi aksi radikal guru (F=10,481, p=0,000),” kata Umam saat acara Peluncuran Survei PPIM di Jakarta, Selasa (16/10).
Data ini diperoleh dari hasil survei yang dilaksanakan PPIM pada 6 Agustus hingga 6 September 2018 lalu. Total sampel guru yang disurvei mencapai 2.237 orang dari 34 provinsi di Indonesia. Sampel guru yang berjenis kelamin perempuan adalah 1.335 orang (59,79 persen), sementara guru laki-laki 898 orang (40,21 persen).
Sampel guru tersebut juga diklasifikasi ke dalam beberapa kategori, termasuk status ekonomi: guru yang penghasilannya di bawah 1 juta rupiah adalah 603 orang (26,97 persen), antara 1 juta hingga 2,5 juta 565 orang (25,27 persen), dan guru dengan honor 2,5 juta sampai 5 juta 740 orang (33,09 persen). Adapun guru yang bayarannya 5 juta hingga 7,5 juta 231 orang (10,33 persen) dan di atas 7,5 juta adalah 97 orang (4,34 persen).
Mean guru yang bergaji di bawah 1 juta adalah 46,1, antara 1 juta hingga 2,5 juta (mean=51,7), dan guru dengan honor 2,5 juta sampai 5 juta (mean=52,7). Sedangkan mean guru yang bayarannya 5 juta hingga 7,5 juta dan di atas 7,5 juta adalah berturut-turut 53,9 dan 49,8.
“Semakin sedikit mean-nya, maka akan semakin tinggi intoleransinya,” jelas Umam.
Survei ini menggunakan dua alat ukur untuk mengukur tingkat intoleransi dan radikalisme. Pertama, Implicit Association Test (IAT). Alat ukur ini digunakan untuk melihat potensi intoleransi dan radikalisme guru secara implisit. Kedua, kuesioner. Ini untuk menilai intoleransi dan radikalisme serta faktor-faktor yang mempengaruhinya secara eksplisit. (Muchlishon)