Sepanjang 2021 Terdapat 5.226 Aksi Terorisme di Seluruh Dunia
Ahad, 14 Agustus 2022 | 17:30 WIB
Jakarta, NU Online
Polri mengungkapkan data bahwa berdasarkan Global Terrorism Index 2022 menyebutkan sepanjang 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban dunia mencapai 7.141 jiwa.
Sementara data yang dimiliki Densus 88 Antiteror Polri, terkait tingginya aksi dan penangkapan teroris menunjukkan penyebaran paham maupun gerakan radikalisme dan intoleransi yang menyasar kalangan anak-anak muda hingga masuk ke wilayah pendidikan.
Baca Juga
Islam, Radikalisme, dan Terorisme
"Tidak sedikit dari jumlah tersebut adalah anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta; hal ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan," ujar Wakapolri Gatot Edi Pramono dirilis laman Humas Polri.
Di Indonesia, kata Gatot, data yang dimiliki oleh Densus 88 terkait aksi terorisme dan penangkapan terhadap pelakunya juga menunjukkan angka yang tinggi. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari penyebaran paham dan gerakan radikalisme dan intoleransi yang utamanya, menyasar kalangan anak-anak muda, termasuk dengan masuk ke wilayah pendidikan.
“Dalam lima tahun terakhir ini saja, dunia pendidikan kita, khususnya kampus, masih menjadi incaran utama kelompok radikal-terorisme,” katanya.
Proses infiltrasi paham dan gerakan radikal dan ekstremisme menurutnya masuk dengan berbagai cara, mulai dari menyusup di kegiatan-kegiatan keagamaan (CISForm, 2018), masjid-masjid kampus (INFID, 2018), dan persebaran buku-buku (PPIM, 2018).
Pola penyebarannya pun tidak lagi dilakukan hanya melalui medium dakwah dan forum-forum halakah, tetapi sudah merambah ke media sosial (cyber space) dan jalur-jalur pertemanan.
“Hasilnya, sebagaimana dilaporkan PPIM (2020), 24,89% mahasiswa Indonesia terindikasi memiliki sikap intoleran. Dari sumber lain, Alvara Research (2020) melaporkan bahwa 23,4% mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancasila dan malah pro-khilafah. Data-data ini tentu mengkhawatirkan, tetapi bukan berarti tidak bisa kita kalahkan,” katanya.
Penyebab intoleran
Ia pun memaparkan ada lima sebab kenapa anak-anak muda tertarik pada narasi atau bahkan gerakan intoleran dan radikal.
Pertama, mereka sedang mencari identitas diri. Studi yang dilakukan oleh The United States Institute of Peace pada 2010 menunjukkan bahwa 2.032 militan asing jaringan Al-Qaeda berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar; mereka adalah orang-orang yang sedang mengembara untuk menemukan jati dirinya.
Kedua, mereka membutuhkan perasaan kebersamaan. Kelompok teroris pandai memanfaatkan para remaja yang sedang resah terhadap kondisi emosionalnya. Mereka ingin mencari kebersamaan yang kadang tidak mereka dapatkan dari keluarganya.
Ketiga, mereka ingin memperbaiki apa yang dianggap mencederai rasa keadilan. Para remaja ini memiliki semangat yang menggebu-gebu dan idealisme yang tinggi untuk melakukan perubahan, hal inilah yang juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris.
Keempat, mereka sedang membangun citra diri. Kelompok remaja sangat ingin terlihat menonjol atau eksis, karenanya mereka cenderung tidak segan untuk melakukan berbagai cara untuk tampil impresif, termasuk di antaranya adalah dengan menjadi bagian dari kelompok dan gerakan ekstremis.
Kelima, mereka memiliki akses yang luas untuk berinteraksi dengan siapa pun di dunia maya, termasuk dengan kelompok radikal. Persinggungan di dunia maya inilah yang kerap menjadi permulaan bagi kalangan muda untuk bergabung dengan kelompok teroris.
“Khusus pada poin terakhir, banyak kalangan yang menyebut media sosial telah membuat kalangan anak-anak muda semakin rentan, terutama, sebagaimana dikemukakan dalam temuan Wahid Foundation (2017), karena kalangan muda lebih senang belajar agama dari media sosial, dengan ustaz/ah yang belum tentu terjamin kualitas keilmuan dan akhlaknya,” katanya.
Editor: Muhammad Faizin
===================
“Judul artikel ini diubah pada Ahad (14/8/2022) pukul 19.05 WIB”